Kamu berjalan tertunduk lesu, tidak ada sorot mata membara yang kulihat dari kedua bola matamu. Kamu tidak seperti biasanya, bahkan cenderung murung. Tak kau perdulikan orang-orang yang sedang bersorak gembira karena tim kesayangannya memenangkan pertandingan bola itu. Kamu hanya terus berjalan, menuju taman tempat biasanya kau memandang senja. Sama seperti biasanya kamu duduk di bangku dekat air mancur kecil yang terdapat di tengah taman komplek perumahan, bangku favoritmu. Kamu hanya diam melihat langit sore, lalu tersenyum sekilas. Senyum yang selalu ku tunggu, senyum yang selalu ku rindukan.
Di bagian taman yang lain, ku lihat sebuah keluarga yang nampak amat bahagia. Sang Ayah dan anak lelakinya berlarian, saling berkejaran dengan penuh tawa. Sang Ibu menyiapkan makanan sore dari sekeranjang bekal sederhana yang dibawa, sungguh pemandangan yang sangat indah, sama seperti ketika aku memandang wajahmu.
Entah sejak kapan aku mulai suka membuntutimu setiap sore. Aku selalu bersembunyi di semak dekat portal masuk kompleks, menunggumu lewat jalanan ini dan membuntutimu sampai ke taman. Hal ini kulakukan demi melihat wajah dan senyum yang jarang kau tunjukkan itu. Ada bagian dari dirimu-yang aku sendiri tidak tahu-yang membuatku tertarik padamu. Mungkin aku menyukaimu, atau bahkan mungkin lebih dari itu, karena aku selalu bahagia ketika aku bisa melihatmu, ya hanya melihatmu.
Kamu tiba-tiba berdiri dari bangku favoritmu itu. Ku lirik jam yang ada di pergelangan tangan kiriku, pukul 17:02. Bukankah ini belum waktunya kamu pergi? Tanyaku pada diri sendiri. Kamu berjalan menuju pohon tempatku duduk untuk mengintipmu, seketika ada rasa panik dalam diriku. Aku segera berbalik dan menundukkan kepalaku, tidak lagi berani mengintipmu dari pohon. Aku diam, namun jantungku berdegup sangat kencang, ada perasaan was-was karena takut kamu tahu kalau aku suka mengikutimu. Ada tapak-tapak kaki yang ku dengar mulai mendekat, adrenalinku semakin meningkat bahkan rasanya aku hampir kencing dicelana. Kamu sudah berdiri di depanku, dan aku tak berani memandang wajahmu. Lama sekali kamu hanya diam dan tak berniat sedikitpun untuk pergi dari tempat berdirimu itu. Aku mulai memberanikan diri menatapmu dan berdiri untuk mensejajarkan pandangan. Raut mukamu datar, aku tidak bisa membaca dan memperkirakan apa reaksimu selanjutnya.
"Ma..maa..ma..maafkan aku" Hanya kata itu yang terlontar dari bibirku. Kamu tidak bergeming, masih saja diam dan tidak berekasi atas permintaan maafku. Kamu mengulurkan tangan, tersenyum dengan sangat manis. " Namaku Lana". Suaramu terdengar sangat merdu ketika mengucapkan namamu, ya seperti bidadari yang baru saja turun dari langit. "Namaku Ranu" Ku jabat uluran tanganmu itu, dan kita saling tersenyum satu sama lain.
No comments:
Post a Comment