Suatu malam Ibu
bangun dengan keringat bercucuran di wajahnya yang sendu. Nafasnya terengah,
dadanya naik turun dan sedikit sesak merasakan perih yang tak kunjung hilang. Ibu mencoba
mengatur nafasnya kembali di antara engahan kelelahan. Ayah yang tidur di sampingnya
terbangun merasakan kasurnya yang bergoncang akibat engahan Ibu. Tanpa komando
Ayah menenangkan Ibu, mengelus punggung Ibu yang masih berguncang dengan
tangannya yang sedikit kasar. Ibu menoleh, memandang Ayah yang masih
menenangkan dengan tangan, mata dan senyum hangatnya. Sontak ibu memeluk Ayah,
menangis tanpa suara namun deras air matanya cukup membasahi piyama yang Ayah
kenakan. Mereka berpelukan. Lama. Hangat.
Hampir setiap malam
selama dua tahun ini Ibu selalu mengalami hal yang sama. Bermimpi tentang kejadian
yang telah merenggut putranya lalu menangis di pelukan Ayah. Menyalahkan dirinya
sendiri, menyesali kemalangan yang menimpa putranya. Ayah pun tak pernah lelah
melakukan hal yang sama, setiap malam selama dua tahun ini. Memeluk dan
menenangkan Ibu yang menangis tanpa suara dengan tangan hangatnya hingga Ibu
jatuh tertidur hingga pagi hari.
Di pagi hari Ibu
kembali seperti Ibu yang sama seperti dua tahun lalu. Senyumnya merekah dan
bibirnya tak henti-hentinya melantunkan lagu lawas kesukaannya. Ibu menyiapkan
sarapan lezat untuk Ayah dan Senja, putrinya. Ia seperti lupa akan kejadian
semalam sebelumnya. Ayah dan Senja juga tak pernah membahas hal yang terjadi pada
Ibu setiap malam itu ketika mereka berkumpul. Semua seperti tidak pernah terjadi.
Pagi hari selalu menawarkan kebahagiaan dan semangat baru bagi mereka bertiga.
Hampir dua tahun
yang lalu tepatnya dua bulan setelah kakak Senja meninggal, Senja meminta
Ayahnya untuk membawa Ibu ke Psikiater. Ibu perlu pertolongan dari orang yang
ahli dengan masalah ini, katanya. Namun Ayah menolak permintaan itu
mentah-mentah. Ibu tidak perlu Psikiater, Psikolog atau ahli lainnya. Ibu hanya
perlu kita, keluarganya yang mau menemani, mendengarkan dan mengerti masa
sulitnya. Begitu jawaban Ayah pada permintaan Senja saat itu. Senja tak pernah
lagi membahas permintaannya itu. Ia bahkan sering meluangkan waktunya untuk
menemani Ibu di rumah. Kadang ia menemani ibunya berkebun dan merawat
tanaman-tanaman kesayangannya, kadang pula ia menemani Ibunya membuat kue yang
sering dibagikan ke tetangga-tetangganya. Senja melakukan itu dengan senang
hati dan tak pernah mengeluh. Ia tahu Ibunya menyimpan kesedihan yang begitu
dalam dibalik senyum yang selalu ditunjukkan kepada Senja. Ibu tak pernah
menangis di depan Senja. Ibu hanya menangis di malam hari saat berdua dengan
Ayah. Namun Senja tahu itu semua meskipun Ibu tak pernah menunjukkannya. Senja sering
menangis diam-diam setelah melihat Ibunya menangis. Ia juga menangis tanpa
suara di kamarnya.
Senja menyimpan
kesedihan yang sama. Dia sering menyalahkan dirinya sendiri ketika ingat pada
kecelakaan yang merenggut kakak laki-lakinya. Otaknya lalu akan penuh dengan
pengandaian-pengandaian yang harusnya dulu ia lakukan untuk mencegah semua itu
terjadi.
Pada sore hari tepatnya
pukul lima atau terkadang bisa lebih, Ayah pulang dari Kantor yang jaraknya tak
terlalu jauh dari rumah mereka. Ayah sering pulang membawa makanan kesukaan Ibu
dan Senja, namun sesekali Ayah pulang membawa martabak kesukaannya. Mereka
bertiga akan menyantap makanan itu bersama, saling berbagi cerita tentang hari
yang mereka lalui hari itu dan tertawa pada cerita tentang teman-teman Senja.
Seusai makan malam
penuh cerita itu, Ayah lalu mandi. Ayah tak pernah mau mandi dulu sebelum
menyantap makan malam. Kata Ayah agar lemak yang didapat saat makan malam
luntur saat Ayah mandi. Itulah alasan Ayah memilih mandi setelah makan malam. Saat
mandi itulah Ayah sering menangis. Ia menangis tanpa suara di kamar mandi. Air matanya
ikut larut dan terhanyut bersama air yang mengucur dari keran. Ayah selalu
berharap bahwa kesedihannya akan ikut hanyut bersama air itu dan tak pernah kembali
lagi mengunjungi keluarganya.
Jauh, jauh sekali di
atas sana, Kala sang anak lelaki pun sering menangis tanpa suara melihat semua
kesedihan dan kepedihan yang dialami keluarganya. Ini semua salahku, katanya
pada Tuhan.
Klaten, Mei 2015
Klaten, Mei 2015
No comments:
Post a Comment