Friday, May 08, 2015

Kala

Suatu malam Ibu bangun dengan keringat bercucuran di wajahnya yang sendu. Nafasnya terengah, dadanya naik turun dan sedikit sesak merasakan perih yang tak kunjung hilang. Ibu mencoba mengatur nafasnya kembali di antara engahan kelelahan. Ayah yang tidur di sampingnya terbangun merasakan kasurnya yang bergoncang akibat engahan Ibu. Tanpa komando Ayah menenangkan Ibu, mengelus punggung Ibu yang masih berguncang dengan tangannya yang sedikit kasar. Ibu menoleh, memandang Ayah yang masih menenangkan dengan tangan, mata dan senyum hangatnya. Sontak ibu memeluk Ayah, menangis tanpa suara namun deras air matanya cukup membasahi piyama yang Ayah kenakan. Mereka berpelukan. Lama. Hangat.
Hampir setiap malam selama dua tahun ini Ibu selalu mengalami hal yang sama. Bermimpi tentang kejadian yang telah merenggut putranya lalu menangis di pelukan Ayah. Menyalahkan dirinya sendiri, menyesali kemalangan yang menimpa putranya. Ayah pun tak pernah lelah melakukan hal yang sama, setiap malam selama dua tahun ini. Memeluk dan menenangkan Ibu yang menangis tanpa suara dengan tangan hangatnya hingga Ibu jatuh tertidur hingga pagi hari.
Di pagi hari Ibu kembali seperti Ibu yang sama seperti dua tahun lalu. Senyumnya merekah dan bibirnya tak henti-hentinya melantunkan lagu lawas kesukaannya. Ibu menyiapkan sarapan lezat untuk Ayah dan Senja, putrinya. Ia seperti lupa akan kejadian semalam sebelumnya. Ayah dan Senja juga tak pernah membahas hal yang terjadi pada Ibu setiap malam itu ketika mereka berkumpul. Semua seperti tidak pernah terjadi. Pagi hari selalu menawarkan kebahagiaan dan semangat baru bagi mereka bertiga.
Hampir dua tahun yang lalu tepatnya dua bulan setelah kakak Senja meninggal, Senja meminta Ayahnya untuk membawa Ibu ke Psikiater. Ibu perlu pertolongan dari orang yang ahli dengan masalah ini, katanya. Namun Ayah menolak permintaan itu mentah-mentah. Ibu tidak perlu Psikiater, Psikolog atau ahli lainnya. Ibu hanya perlu kita, keluarganya yang mau menemani, mendengarkan dan mengerti masa sulitnya. Begitu jawaban Ayah pada permintaan Senja saat itu. Senja tak pernah lagi membahas permintaannya itu. Ia bahkan sering meluangkan waktunya untuk menemani Ibu di rumah. Kadang ia menemani ibunya berkebun dan merawat tanaman-tanaman kesayangannya, kadang pula ia menemani Ibunya membuat kue yang sering dibagikan ke tetangga-tetangganya. Senja melakukan itu dengan senang hati dan tak pernah mengeluh. Ia tahu Ibunya menyimpan kesedihan yang begitu dalam dibalik senyum yang selalu ditunjukkan kepada Senja. Ibu tak pernah menangis di depan Senja. Ibu hanya menangis di malam hari saat berdua dengan Ayah. Namun Senja tahu itu semua meskipun Ibu tak pernah menunjukkannya. Senja sering menangis diam-diam setelah melihat Ibunya menangis. Ia juga menangis tanpa suara di kamarnya.
Senja menyimpan kesedihan yang sama. Dia sering menyalahkan dirinya sendiri ketika ingat pada kecelakaan yang merenggut kakak laki-lakinya. Otaknya lalu akan penuh dengan pengandaian-pengandaian yang harusnya dulu ia lakukan untuk mencegah semua itu terjadi.
Pada sore hari tepatnya pukul lima atau terkadang bisa lebih, Ayah pulang dari Kantor yang jaraknya tak terlalu jauh dari rumah mereka. Ayah sering pulang membawa makanan kesukaan Ibu dan Senja, namun sesekali Ayah pulang membawa martabak kesukaannya. Mereka bertiga akan menyantap makanan itu bersama, saling berbagi cerita tentang hari yang mereka lalui hari itu dan tertawa pada cerita tentang teman-teman Senja.
Seusai makan malam penuh cerita itu, Ayah lalu mandi. Ayah tak pernah mau mandi dulu sebelum menyantap makan malam. Kata Ayah agar lemak yang didapat saat makan malam luntur saat Ayah mandi. Itulah alasan Ayah memilih mandi setelah makan malam. Saat mandi itulah Ayah sering menangis. Ia menangis tanpa suara di kamar mandi. Air matanya ikut larut dan terhanyut bersama air yang mengucur dari keran. Ayah selalu berharap bahwa kesedihannya akan ikut hanyut bersama air itu dan tak pernah kembali lagi mengunjungi keluarganya.

Jauh, jauh sekali di atas sana, Kala sang anak lelaki pun sering menangis tanpa suara melihat semua kesedihan dan kepedihan yang dialami keluarganya. Ini semua salahku, katanya pada Tuhan.


Klaten, Mei 2015

No comments:

Post a Comment