Pada hari ketika kamu memutuskan untuk mengucapkan selamat tinggal, aku sudah berpasrah akan hal itu. Wajahmu cerah, tampak bahagia ketika akhirnya aku mengiyakan keinginanmu untuk berpisah. Kusambut wajah bahagiamu itu dengan senyum tipis setulus mungkin demi membuat kamu tenang dan tidak mengkhawatirkanku. Kamu lalu memelukku. Pelukan yang teramat hangat, sehangat pelukan pertamamu dulu. Mungkin ini adalah pelukan terhangat yang pernah kamu berikan untukku selama ini. Kamu lalu melepas pelukan itu dan segera berlalu meninggalkanku yang masih mematung dan memasang wajah tersenyum demi membuatmu bahagia sampai jejak langkahmu hilang dan tak tampak dari mataku. Aku mulai menangis selepas bayanganmu hilang. Lirih dan tanpa suara namun sangat menyayat perasaan. Aku tak berhenti menangis sampai seorang teman baik mengulurkan tangannya untuk meraihku. Dia tersenyum sangat manis. Semanis senyummu ketika kamu meninggalkanku. Ah lagi-lagi aku mengingatmu. Sial.
Temanku hanya diam dan tidak berselera mengatakan sepatah kata nasihat pun. Dia hanya menggenggam tanganku sepanjang perjalanan pulang, dan aku tahu hal itu justru lebih menguatkanku daripada ocehan nasihat untuk aku sabar dan menerima semua ini. Dia lalu mengantarku pulang dan menemui Ibu yang bingung melihat wajah putri kecilnya sembab oleh air mata. Aku sendiri masih belum siap bercerita pada Ibu tentang apa yang membuatku menangis. Samar-samar dari dalam kamar kudengar percakapan Ibu dan temanku. Ibu bertanya padanya tentang apa yang terjadi padaku, dan dengan tenangnya dia menyuruh Ibu untuk tidak terlalu mengkhawatirkanku. Katanya aku hanya butuh waktu untuk menenangkan diri, dan nanti ketika aku sudah tenang, aku akan menjawab semua pertanyaan-pertanyaan Ibu. Ibu harus bersabar.
Temanku hanya diam dan tidak berselera mengatakan sepatah kata nasihat pun. Dia hanya menggenggam tanganku sepanjang perjalanan pulang, dan aku tahu hal itu justru lebih menguatkanku daripada ocehan nasihat untuk aku sabar dan menerima semua ini. Dia lalu mengantarku pulang dan menemui Ibu yang bingung melihat wajah putri kecilnya sembab oleh air mata. Aku sendiri masih belum siap bercerita pada Ibu tentang apa yang membuatku menangis. Samar-samar dari dalam kamar kudengar percakapan Ibu dan temanku. Ibu bertanya padanya tentang apa yang terjadi padaku, dan dengan tenangnya dia menyuruh Ibu untuk tidak terlalu mengkhawatirkanku. Katanya aku hanya butuh waktu untuk menenangkan diri, dan nanti ketika aku sudah tenang, aku akan menjawab semua pertanyaan-pertanyaan Ibu. Ibu harus bersabar.
Aku masih menangis di dalam kamar, tapi kali ini tangisanku bersuara. Beberapa kali aku sesenggukan dan susah bernapas karena tangisanku yang semakin tak tertahan. Aku masih ingat kata-kata terakhir yang kamu ucapkan sebelum kamu melangkah pergi. "Kamu akan dapat yang jauh lebih baik dari aku. Kamu baik, cantik dan menyenangkan jadi kupastikan kamu akan dengan mudah menemukan penggantiku. Maafkan aku karena mengatakan ini mendadak, namun sungguh aku sangat menyayangimu, namun bukan rasa sayang seperti kala pertama kita bertemu. Kuharap setelah ini kamu akan bahagia, jauh lebih bahagia saat bersamaku" begitu katamu. Klise. Di dalam hati aku mencibir dan mengutuk kata-kata manis yang sebenarnya racun itu. Ku coba pikirkan kembali apa yang terjadi pada kita. Bagaimana bisa selama ini aku tidak menyadari bahwa kamu tidak bahagia bersamaku. Bagaimana mungkin aku tidak menyadari kalau semua hal manis yang kamu tunjukkan itu palsu. Ah mungkin aku terlalu bodoh untuk menyadari itu semua, atau justru kamulah yang terlalu pintar menyembunyikan segala keterpaksaanmu itu. Barangkali selama ini hanya aku yang merasa bahagia dan merasa hubungan kita ini indah luar biasa.
Hari ini setelah bertahun-tahun kamu meninggalkanku, aku masih ingat hari ketika kamu memelukku untuk terakhir kalinya. Bahkan mungkin aku masih ingat harum parfum yang menempel di bajumu. Tidak, aku tidak menginginkan kamu kembali ke pelukanku namun izinkan aku mengingatmu sesekali, seperti hari ini. Sebagai seseorang yang tanpa sadar memberiku pelajaran bahwa selayaknya hubungan cinta itu memang tidak untuk dipaksakan ketika salah satunya sudah merasa tidak menemukan perasaan yang sama seperti dulu agar nantinya tidak ada yang merasa tersiksa dan terbelenggu. Terima kasih telah mengajarkanku tentang arti melepaskan dan mengikhlaskan. Meski berat, namun pada akhirnya aku bisa melewati itu semua dan bisa menjalani hidupku dengan baik. Aku yakin kamu kini telah berbahagia bahkan mungkin sudah bisa tertawa lebar tanpa paksaan dengan wanitamu sekarang. Selamat merengkuh kebahagian barumu, tuan. Semoga senyum manismu tak pernah terenggut lagi. Kini aku siap merengkuh bahagiaku juga.
Klaten, Juni 2015.
Hari ini setelah bertahun-tahun kamu meninggalkanku, aku masih ingat hari ketika kamu memelukku untuk terakhir kalinya. Bahkan mungkin aku masih ingat harum parfum yang menempel di bajumu. Tidak, aku tidak menginginkan kamu kembali ke pelukanku namun izinkan aku mengingatmu sesekali, seperti hari ini. Sebagai seseorang yang tanpa sadar memberiku pelajaran bahwa selayaknya hubungan cinta itu memang tidak untuk dipaksakan ketika salah satunya sudah merasa tidak menemukan perasaan yang sama seperti dulu agar nantinya tidak ada yang merasa tersiksa dan terbelenggu. Terima kasih telah mengajarkanku tentang arti melepaskan dan mengikhlaskan. Meski berat, namun pada akhirnya aku bisa melewati itu semua dan bisa menjalani hidupku dengan baik. Aku yakin kamu kini telah berbahagia bahkan mungkin sudah bisa tertawa lebar tanpa paksaan dengan wanitamu sekarang. Selamat merengkuh kebahagian barumu, tuan. Semoga senyum manismu tak pernah terenggut lagi. Kini aku siap merengkuh bahagiaku juga.
Klaten, Juni 2015.
No comments:
Post a Comment