Minggu ini adalah minggu penutup akhir tahun yang cukup berat dan emosional buat saya. Seharusnya minggu ini adalah minggu yang penuh suka cita karena suasana libur panjang, tapi hal itu tak berlaku buat saya. Nyatanya saya mendapat kado akhir tahun yang cukup berbeda.
Hal ini dimulai ketika kamis sore lalu, tepatnya setelah pulang dari rumah kakak sulung saya, banyak sekali pesan masuk di salah satu grup whatsapp yang saya ikuti. Usut punya usut pesan-pesan itu berasal dari grup rekrutmen salah satu BUMN yang sedang saya ikuti. Grup itu dibuat untuk ajang silaturahmi dan berbagi informasi para peserta rekrutmen mengenai jadwal dan proses seleksi. Salah satu peserta seleksi mengabarkan bahwa hasil wawancara terakhir seleksi BUMN tersebut sudah keluar di web. Tentu saja kabar itu membuat saya deg-degan bukan main karena sudah saya tungu sejak beberapa hari lalu.
Saya makin penasaran ingin mengetahui hasil seleksi setelah membaca beberapa teman dinyatakan lolos seleksi, dan sesegera mungkin menyambungkan koneksi internet. Saya buka web yang dimaksud, namun saya sedikit ragu dan tidak siap membaca hasilnya. Saya picingkan mata saya sambil terus merapal doa, berharap hasilnya akan menggembirakan hati saya ( hal yang sama saya lakukan juga ketika melihat pengumuman hasil wawancara sebelumnya). Setelah berhasil login, keraguan dan ketakutan itu sempurna membuat saya terdiam cukup lama. Saya dinyatakan tidak lolos mengikuti tahapan terakhir dalam proses seleksi yaitu medical check up.
Butuh waktu sepersekian menit bagi saya untuk cukup awas hingga akhirnya saya mengabarkan hasil itu pada orang tua. Bapak yang mendengar kabar itu lalu meminta untuk ditunjukkan pengumuman yang dimaksud. Beliau lalu mulai bertanya mengenai proses seleksi kemarin, apakah saya dapat menjawab dengan baik atau tidak. Pertanyaan yang biasa saja sebenarnya namun dalam kondisi yang masih kaget dan sedih buat saya pertanyaan seperti itu cukup membuat saya tertekan dan merasa dihakimi. Saya merasa telah mengecewakan harapan orang tua saya, dan tentunya harapan diri sendiri, lalu saya mulai menangis.
Beberapa saat kemudian seorang teman semasa kuliah yang juga mengikuti tes di kota yang sama dan kebetulan juga diwawancarai oleh orang yang sama memberikan kabar bahwa dia juga berhenti di tahap ini. Saya juga dia, menangis di tempat kami masing-masing juga saling menguatkan satu sama lain. Ini momen yang cukup menguras emosi bagi kami berdua. Gagal di lintasan menuju finish itu menyakitkan.
Buat saya pribadi, seleksi ini adalah yang paling menguras energi dan mental dibanding seleksi lain yang pernah saya ikuti. Pada awalnya saya memang tidak terlalu antusias seperti teman lain. Hanya sekadar mendaftar dan tidak berpikir terlalu jauh. Namun setelah melalui tahapan demi tahapan yang panjang dan sempat membuat sakit karena saya selalu kehujanan ketika tes, maka ketika sampai pada tahap wawancara akhir, harapan yang tadinya hanya seujung kuku pun melesat naik, tumbuh dan terus tumbuh memenuhi hati saya. Harapan untuk segera bekerja sesuai apa yang saya ingini, harapan untuk bekerja di bidang pelayanan, dan tentu saja harapan untuk segera membahagiakan orang tua dan mengurangi beban mereka.
Kecewa? Tentu saja. Sedih? Apalagi. Saya bahkan berkali-kali menangis dan meyakinkan diri sendiri untuk tidak denial pada kenyataan. Mungkin reaksi saya ini berlebihan, tapi nyatanya saya memang cukup terpukul. Lebih sedih lagi ketika melihat wajah Ibu dan Bapak. Walaupun tidak tampak raut kecewa yang berlebihan dan selalu mengatakan 'gapapa bukan rezeki kamu' tapi saya tahu dalam hati mereka juga berharap. Ini lebih menyakitkan dan membebani daripada rasa kecewa diri sendiri. Sekarang saya sudah bisa menerima, ya memang belum sepenuhnya tapi setidaknya saya sudah cukup ringan menjawab ketika ada yang bertanya mengenai seleksi kemarin dan bisa menuliskannya.
Mungkin pada kesempatan kali ini jalan saya memang hanya sampai di sini, dan ini bukan rezeki saya, tapi saya tidak menyebut ini sebagai kegagalan. Ini adalah proses, dan di akhir pasti selalu saja ada yang berhasil dan tidak. Mungkin bukan sekarang, dan mungkin bukan di tempat itu rezeki saya berada. Yang masih saya ingat dan yakini adalah ketika satu pintu tertutup, maka Tuhan akan bukakan seribu pintu lain. Pintu-pintu yang dinilai lebih tepat dan cocok untuk saya.
Rezeki dan jodoh sudah ada jatahnya masing-masing dan tidak akan salah alamat. Mungkin saja saat ini rezeki dan jodoh saya sedang mencari alamat rumah saya, ya walaupun saya tidak tahu kapan akan bertemu, tapi selama saya mau berusaha dan tidak melupakan doa, mereka akan segera menemukan alamat saya. Semoga
Saturday, December 26, 2015
Monday, November 09, 2015
Cerita Hujan
Musim hujan tahun
ini berjalan lambat, November ini hujan baru mulai turun di beberapa kota,
salah satunya di tempat di mana aku tinggal. Aku sendiri cukup antusias saat
pertama kali hujan turun di kotaku. Hanya gerimis kecil yang bahkan tidak
sampai lima menit tapi cukup membuatku tertawa kegirangan.
Banyak orang yang
mungkin membenci hujan, namun tak sedikit pula yang mencintainya. Aku adalah
orang yang mecintai sekaligus merasa kesal beberapa kali karena hujan.
pic taken from here |
Aku mencintai
hujan ketika aku sedang berada di dalam ruangan dan tidak merasakan dingin
karena basah yang menyentuh tubuhku. Aku sangat suka menikmati hujan dari dalam
kamarku. Aku akan menghabiskan waktu hanya dengan duduk di atas tempat tidur
dan memandang hujan turun lewat jendela
kamar. Kamu mungkin akan membayangkan apa yang kulakukan ini seperti
adegan-adegan film yang biasa kamu tonton, namun yang kulakukan tak seromantis
itu. Aku tidak menikmati hujan dengan ditemani segelas cokelat hangat, lalu
memandang embun yang menempel di kaca jendelaku. Aku hanya akan melihat keluar,
memandang bulir air yang jatuh ke tanah dan sesekali mengendus bau tanah basah
yang dihasilkan.
Pada momen-momen melankolis
seperti itu, biasanya beberapa kenangan masa lalu menyeruak di kepala, misalnya
kenangan ketika mantan pacarku dulu memberi sedikit kejutan kecil untukku. Aku masih
ingat ketika mantan pacarku itu menyuruhku untuk memeriksa hadiah yang dia
siapkan di laci mejaku, namun tak kutemukan apapun selain sampah bungkus permen
sisa kemarin. Lalu aku mulai mengecek semua laci meja di kelasku itu demi
menemukan hadiah yang dia maksud. Dan betapa bahagianya diriku waktu itu ketika
menemukan sekotak kecil cokelat beserta pesan pendek yang ternyata menyasar di laci
meja temanku. “Cokelat manis untuk
perempuan manis. Semoga kamu senang dengan hadiah kecil ini” pipiku bersemu
merah saat membaca pesan pendek itu. Lalu malam harinya mantan pacarku itu
menelepon dan bertanya bagaimana perasaanku saat menerima hadiah yang ia
berikan, dan kuceritakan kebingunganku saat harus menelusuri satu persatu meja
kelas demi menemukan cokelat yang rasanya enak sekali itu. Kami berdua bercerita
banyak hal dan tertawa malam itu, bahagia karena merasa saling menyayangi satu
sama lain. Aku suka hujan saat itu, karena membawa ingatan menyenangkan di
kepalaku.
Pada kesempatan
yang lain, hujan mampu membuatku kesal, terutama ketika sedang bepergian dengan
mengendarai motor kesayanganku sedang aku lupa membawa jas hujan. Aku tidak
suka harus basah-basahan dan merasa kedinginan ketika mengendarai motorku. Memang
itu salahku karena aku lupa membawa jas hujan, namun tetap saja aku akan kesal dan
menyalahkan kenapa hujan harus turun saat aku bepergian dan lupa membawa jas
hujan. Egois dan tidak bersyukur memang kelakuanku itu kalau dirasa.
Aku juga tidak
suka hujan yang tak jarang membawa kenangan yang tidak ingin kuingat-ingat lagi.
Misalnya ketika tiba-tiba aku teringat akan kebodohanku di masa lalu yang membuatku
menyesal karena telah melakukannya. Mengingat kebodohan yang pernah kulakukan membuatku
merasa menjadi orang yang menyebalkan, tidak peka, dan jahat yang pada akhirnya
justru membuatku sedih ketika teringat semuanya. Aku akan menangis setelahnya,
menyesali semua hal yang pernah kulewatkan dan keputusan yang pernah kuambil.
Aku punya kesan
sendiri terhadap hujan. Ia seperti mesin waktu yang selalu berhasil membawaku
mengunjungi masa lalu dan memaksaku mengingat kenangan yang pernah terjadi, baik
itu yang menyenangkan atau yang buruk. Hujan selalu membuatku larut bersama
kenangan dan meninggalkan kesan lain di hatiku.
Sampai detik ini,
aku masih antusias dan bersorak senang ketika hujan mulai turun. Esok lusa, mungkin
aku tidak akan seantusias seperti kali pertama hujan turun, mungkin aku akan
mulai kesal, mengeluh dan mengumpat ketika hampir setiap hari harus kehujanan
dan merasakan dinginnya, tapi aku selalu percaya bahwa hujan akan selalu
memberikan kesejukan, keberkahan dan manfaat bagi orang-orang yang membutuhkannya.
Semoga
Sunday, September 13, 2015
Bukan 'Sekedar' Pekerjaan
Cerita kelima di 30 Hari Kotaku Bercerita
Ternyata sudah separuh perjalanan mengikuti proyek menulis ini, meskipun kadang masih susah dan bingung mau nulis apa tapi sejauh ini saya masih menikmatinya.
Oke mari kita langsung ke pokoknya, tema hari ini adalah 'pekerjaan kami sehari-hari' jadi saya akan sedikit bercerita mengenai beberapa pekerjaan yang dikerjakan masyarakat tempat saya tumbuh besar ini. Secara umum masyarakat Klaten masih banyak yang berprofesi sebagai petani dan pedagang, namun di beberapa daerah terutama di desa wisata, masyarakat sekitar berprofesi sesuai dengan potensi wisata yang sedang berkembang di daerah tersebut, misalnya sebagai perajin tenun lurik, dan perajin gerabah.
Luas lahan pertanian Kabupaten Klaten mencapai hampir lebih dari 65% dari total wilayahnya, dengan didukung kecukupan irigasi yang baik dan lahan yang subur menjadikan Klaten menjadi salah satu produsen beras yang cukup diperhitungkan di Indonesia. Salah satu jenis beras yang sudah terkenal di seantero Nusantara adalah beras rojolele yang berasal dari suatu daerah di Klaten yang bernama Delanggu. Tak jarang karena luasnya lahan pertanian ini banyak sekali masyarakat yang berprofesi sebagai petani, baik itu yang mengerjakan sawah milik sendiri atau sawah milik orang lain.
Bertani, saya kira masih merupakan satu profesi yang menurut masyarakat masih sangat menjanjikan dan dapat dijadikan tumpuan ekonomi.
Saya sendiri sejujurnya belum pernah melihat dengan pasti lahan-lahan persawahan di daerah Delanggu yang berasnya sudah terkenal dan banyak dikonsumsi masyarakat luas itu, namun saya tidak sangsi bahwa Klaten memang sangat kaya dengan sawah. Pernah suatu kali saya berkeliling ke beberapa daerah di Klaten hingga ke beberapa desa yang belum pernah saya jamah dan melihat hamparan sawah yang membentang luas, dan sejauh mata memandang hanya warna hijau padi dan biru langit yang saya lihat. Tidak hanya di satu atau dua desa, namun banyak sekali desa yang masih mengandalkan pertanian sebagai roda perekonomian mereka, termasuk di desa saya sendiri.
Kalau ada yang belum tahu apa itu lurik, lurik adalah kain tenun yang pola gambarnya berupa garis-garis memanjang vertikal yang pengerjaannya menggunakan ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin). Beberapa daerah seperti Cawas, Pedan, Bayat adalah wilayah yang menjadi sentra kerajinan lurik, maka tak heran jika mayoritas penduduk sekitar berprofesi sebagai perajin tenun lurik. Yang saya baca pada tahun 2012 data dari BPS total ada sekitar 1200 perajin tenun lurik yang tersebar di beberapa daerah sentra lurik di berbagai wilayah di Klaten. Untuk mendukung potensi daerah itu, Pemerintah Kabupaten Klaten juga telah menggalakan program lurikisasi yaitu dengan menjadikan kain tenun lurik sebagai salah satu seragam wajib yang harus dikenakan pegawai pemerintahan, bukan hanya untuk mengangkat nama lurik, namun juga untuk mengangkat potensi ekonomi masyarakat.
Selain perajin tenun lurik, ada pula perajin gerabah di desa wisata Melikan. Hampir sebagian besar masyarakatnya menggeluti profesi ini, dan di desa wisata yang lokasinya berdekatan dengan kawasan wisata ziarah Paseban Bayat itu mudah ditemui sentra-sentra kerajinan di pinggir jalan yang menjual berbagai gerabah hasil buatan tangan penduduk lokal. Teknik yang digunakan para perajin dalam membuat gerabah dan keramik di Desa Melikan adalah dengan teknik putaran miring. Teknik putaran miring ini menggunakan alat putar dari kayu dan bambu dengan posisi miring kurang lebih 35 derajat. Menurut kabar kerajinan gerabah Desa Melikan ini juga sudah dilirik pasar mancanegara seperti beberapa negara di Eropa lho, jadi saya kira industri gerabah Melikan ini juga tak kalah dengan industri gerabah Kasongan di Yogyakarta dan cukup untuk memberikan penghidupan yang layak bagi penduduk lokal.
Itu adalah beberapa pekerjaan yang sampai sekarang masih banyak digeluti masyarakat Klaten. Memang sudah banyak pembangunan yang terjadi di Klaten mulai dari infrastruktur, pembangunan mental dan pendidikan yang menjadikan masyarakat menekuni profesi-profesi lain yang seringkali dianggap sebagai profesi yang wah seperti karyawan perusahaan, pegawai negeri, pengusaha, dokter, dan sebagainya namun jangan pula menganggap sebelah mata profesi-profesi lain, karena di luar itu tidak sedikit pula masyarakat Klaten yang masih mempertahankan kearifan-kearifan lokal daerahnya dan menjadikan potensi-potensi yang sudah ditinggalkan nenek moyangnya sebagai ujung tombak mata pencaharian mereka dan meningkatkan perekonomian mereka.
Pada akhirnya ukuran kecukupan pendapatan yang diperoleh juga kembali lagi ke pribadi orang yang melakukan pekerjaan itu dan kebutuhannya, karena sejatinya sebuah pekerjaan, apapun itu selama masih dilakukan dengan hati, halal, tidak merugikan orang lain dan dapat memberikan penghidupan serta kebahagian bagi yang melakukannya adalah sebaik-baiknya pekerjaan.
Love,
Ajeng
Ternyata sudah separuh perjalanan mengikuti proyek menulis ini, meskipun kadang masih susah dan bingung mau nulis apa tapi sejauh ini saya masih menikmatinya.
Oke mari kita langsung ke pokoknya, tema hari ini adalah 'pekerjaan kami sehari-hari' jadi saya akan sedikit bercerita mengenai beberapa pekerjaan yang dikerjakan masyarakat tempat saya tumbuh besar ini. Secara umum masyarakat Klaten masih banyak yang berprofesi sebagai petani dan pedagang, namun di beberapa daerah terutama di desa wisata, masyarakat sekitar berprofesi sesuai dengan potensi wisata yang sedang berkembang di daerah tersebut, misalnya sebagai perajin tenun lurik, dan perajin gerabah.
Luas lahan pertanian Kabupaten Klaten mencapai hampir lebih dari 65% dari total wilayahnya, dengan didukung kecukupan irigasi yang baik dan lahan yang subur menjadikan Klaten menjadi salah satu produsen beras yang cukup diperhitungkan di Indonesia. Salah satu jenis beras yang sudah terkenal di seantero Nusantara adalah beras rojolele yang berasal dari suatu daerah di Klaten yang bernama Delanggu. Tak jarang karena luasnya lahan pertanian ini banyak sekali masyarakat yang berprofesi sebagai petani, baik itu yang mengerjakan sawah milik sendiri atau sawah milik orang lain.
Bertani, saya kira masih merupakan satu profesi yang menurut masyarakat masih sangat menjanjikan dan dapat dijadikan tumpuan ekonomi.
Saya sendiri sejujurnya belum pernah melihat dengan pasti lahan-lahan persawahan di daerah Delanggu yang berasnya sudah terkenal dan banyak dikonsumsi masyarakat luas itu, namun saya tidak sangsi bahwa Klaten memang sangat kaya dengan sawah. Pernah suatu kali saya berkeliling ke beberapa daerah di Klaten hingga ke beberapa desa yang belum pernah saya jamah dan melihat hamparan sawah yang membentang luas, dan sejauh mata memandang hanya warna hijau padi dan biru langit yang saya lihat. Tidak hanya di satu atau dua desa, namun banyak sekali desa yang masih mengandalkan pertanian sebagai roda perekonomian mereka, termasuk di desa saya sendiri.
Gambar diambil dari sini |
Perajin tenun lurik. (Gambar diambil dari sini) |
Monumen perajin tenun lurik dengan ATBM. (Gambar diambil dari sini) |
Gambar diambil dari sini |
Pada akhirnya ukuran kecukupan pendapatan yang diperoleh juga kembali lagi ke pribadi orang yang melakukan pekerjaan itu dan kebutuhannya, karena sejatinya sebuah pekerjaan, apapun itu selama masih dilakukan dengan hati, halal, tidak merugikan orang lain dan dapat memberikan penghidupan serta kebahagian bagi yang melakukannya adalah sebaik-baiknya pekerjaan.
Love,
Ajeng
Monday, September 07, 2015
Pasar Senggol
Cerita ketiga di 30 Hari Kotaku Bercerita..
Ketika saya sadar tema hari ketiga dalam proyek ini adalah pasar, saya bingung, asli bingung karena nggak ngerti mau nulis apa tentang pasar. Jujur saya sama sekali nggak tahu menahu tentang dunia pasar, tapi ya okelah anggap aja ini tantangan buat saya.
Kali ini saya akan cerita tentang salah satu pasar tradisional yang letaknya nggak jauh dari rumah saya. Namanya adalah Pasar Senggol. Lokasinya (menurut yang saya baca) adalah di Desa Drono, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Indonesia. Tapi kalau menurut saya sih pasar ini berada di perbatasan antara Desa Drono dan Desa Candirejo, karena lokasinya diantara kedua desa tersebut.
Mengapa disebut Pasar Senggol, saya sendiri juga nggak tahu alasannya karena kebetulan belum pernah mendengar sejarahnya. Pasar Senggol tak jauh berbeda dengan pasar tradisional kebanyakan, di sana banyak kios kios pedagang yang menjual beraneka ragam barang, dari bahan makanan mentah, makanan jadi, sampai peralatan rumah tangga. Luas Pasar Senggol sekitar 600 meter yang terdiri atas 24 kios dan enam los serta digunakan oleh 75 pedagang.
Saat masih kecil, kira-kira waktu masih TK saya masih sering main ke pasar ini. Terkadang ikut Ibu yang berbelanja, dan tak jarang ikut saudara saya yang kebetulan adalah salah satu pedagang di pasar. Bentuk kios dan los di pasar senggol terdiri dari emperang-emperan kecil dan tidak bersekat papan ataupun tembok. Hanya ada beberapa kios saja yang berbentuk seperti gubuk yang dibatasi tiang kayu dan bersekat, selebihnya hanya emperan semen. Biasanya pembagian blok pedagang di sana berdasarkan jenis barang yang dijual. Misalnya pedagang daging biasanya nggak deket-deket sama pedagang sayur dan buah, mungkin untuk mengurangi risiko terjadinya kontaminasi silang kali ya.
Setelah cukup dewasa, saya sudah sangat jarang ke pasar senggol dan melihat keadaan dalamnya meskipun beberapa kali sering lewat di jalan depan pasar. Kabar yang saya baca, katanya pasar ini akan segera direnovasi keadaannya oleh pemerintah daerah karena sudah banyak sekali bagian pasar yang rusak seperti atap bolong dan genting yang sudah banyak pecah. Semoga saja kabar ini benar dan segera direalisasikan karena pasar ini adalah salah satu pusat perekonomian bagi beberapa masyarakat sekitar.
Love,
Ajeng
Ketika saya sadar tema hari ketiga dalam proyek ini adalah pasar, saya bingung, asli bingung karena nggak ngerti mau nulis apa tentang pasar. Jujur saya sama sekali nggak tahu menahu tentang dunia pasar, tapi ya okelah anggap aja ini tantangan buat saya.
Kali ini saya akan cerita tentang salah satu pasar tradisional yang letaknya nggak jauh dari rumah saya. Namanya adalah Pasar Senggol. Lokasinya (menurut yang saya baca) adalah di Desa Drono, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Indonesia. Tapi kalau menurut saya sih pasar ini berada di perbatasan antara Desa Drono dan Desa Candirejo, karena lokasinya diantara kedua desa tersebut.
Mengapa disebut Pasar Senggol, saya sendiri juga nggak tahu alasannya karena kebetulan belum pernah mendengar sejarahnya. Pasar Senggol tak jauh berbeda dengan pasar tradisional kebanyakan, di sana banyak kios kios pedagang yang menjual beraneka ragam barang, dari bahan makanan mentah, makanan jadi, sampai peralatan rumah tangga. Luas Pasar Senggol sekitar 600 meter yang terdiri atas 24 kios dan enam los serta digunakan oleh 75 pedagang.
Gambar diambil dari sini |
Setelah cukup dewasa, saya sudah sangat jarang ke pasar senggol dan melihat keadaan dalamnya meskipun beberapa kali sering lewat di jalan depan pasar. Kabar yang saya baca, katanya pasar ini akan segera direnovasi keadaannya oleh pemerintah daerah karena sudah banyak sekali bagian pasar yang rusak seperti atap bolong dan genting yang sudah banyak pecah. Semoga saja kabar ini benar dan segera direalisasikan karena pasar ini adalah salah satu pusat perekonomian bagi beberapa masyarakat sekitar.
Love,
Ajeng
Friday, September 04, 2015
Taman : Hijau di Teriknya Kota
Cerita kedua di 30
Hari Kotaku Bercerita
Kalau mendengar kata
ruang publik maka yang akan terpikir
di kepala saya adalah taman tempat masyarakat biasanya berkumpul. Dulu,
kira-kira beberapa tahun yang lalu kalau saya tidak salah ingat, di Klaten sendiri
belum ada taman kota atau sudah ada namun saya tidak cukup gaul untuk tahu ada
taman kota. Setahu saya memang ada hutan kota, tapi yang saya tahu dulu semasa saya masih SMP hutan kota yang letaknya persis di depan sekolah saya ini tidak
dirawat dengan baik, rimbun, dan justru terkesan angker karena lokasinya yang
kebetulan dekat dengan kawasan pemakaman padahal menurut saya kalau dirawat dengan baik tempat ini lucu buat lokasi piknik karena pohon-pohonnya yang tinggi dan rindang dan bisa juga buat foto pra nikah (kalau mau).
Beberapa tahun belakangan
ini, Pemerintah Klaten sedang gencar-gencarnya membangun ruang terbuka hijau yang bisa
dinikmati oleh masyarakat, yaitu taman serta membenahi hutan kota yang awalnya dibiarkan terbengkalai. Ada beberapa taman yang dibangun antara
lain taman lampion (yang sampai sekarang saya masih belum tahu mengapa disebut
taman lampion padahal sama sekali nggak ada lampionnya), taman kecil di
belakang Stadion (yang sayangnya saya tidak tahu apa namanya), dan tentu saja
taman kota yang berada di jantungnya kota Klaten.
Taman lampion ini terletak di belakang gedung PMI Kabupaten Klaten,
tepatnya di Kelurahan Bareng Lor, Klaten Utara. Taman ini
tergolong taman baru di Kabupaten Klaten.
Pertama kali saya dengar nama taman lampion, yang terpikir adalah taman
pelangi di Monumen Yogya Kembali, yang dipenuhi dengan lampion lucu yang terpasang di
beberapa bagian, namun ternyata saat ke sana taman ini tak jauh berbeda dengan taman pada umumnya, hanya saja konsep taman ini lebih condong ke gaya Tionghoa. Beberapa bangunan gazebo didesain dengan gaya khas Tionghoa
dengan menonjolkan warna yang menjadi ciri khasnya yaitu merah. Di area tengah taman terdapat kolam yang cukup
besar dengan air mancur yang menyembul. Di seberang
taman ini juga dibangun Rusunawa (Rumah Susun Sederhana Sewa) bagi warga
yang mungkin belum memiliki hunian.
In frame : Teman-teman saya |
Gazebo Taman Lampion |
Dari Taman Lampion yang letaknya tidak persis di pinggir jalan, saya beralih ke taman yang berada di pusat kota. Taman kota Klaten tepat berada di samping Alun-alun Kota Klaten, dan hanya
dipisahkan jalan. Dari hasil saya baca-baca sedikit, baru saya tahu dulu sekali lokasi
yang dijadikan taman ini adalah lokasi bioskop pertama dan satu-satunya di
Klaten, yaitu Bioskop Rita. Seiring berjalannya waktu, bioskop kebanggaan ini
lenyap dan mulai digantikan dengan barisan pertokoan yang mulai memenuhi
kawasan ini. Entah sejak kapan, saya lupa tahun berapa barisan pertokoan yang
berada di kawasan ini mulai direlokasi dan dijadikan ruang terbuka hijau yang
diperuntukan bagi masyarakat.
Taman kota ini tidak
hanya berisi pepohonan hijau yang menyejukkan mata namun juga dilengkapi dengan
beberapa tempat duduk dan area permainan anak. Selain itu jalan setapak yang
dirancang juga dapat berfungsi sebagai jalan untuk refleksi, jadi selain
sebagai tempat rekreasi taman ini juga dapat difungsikan sebagai tempat
olahraga. Di sore hari banyak anak-anak
kecil yang bermain di wahana permainan yang tersedia, dan ketika malam hari taman ini
akan semakin penuh orang terutama di akhir pekan, terlebih lagi di sekitar
Alun-alun Kota sering dijadikan pasar malam dadakan yang hampir tiap hari
digelar. Akan semakin banyak wahana permainan dan aneka jajanan pinggir jalan yang ditawarkan, jadi tidak perlu khawatir kamu akan kelaparan saat nongkrong di sini. Oiya, di taman ini juga disediakan tempat sampah yang memadai di beberapa titik, jadi kamu nggak perlu khawatir untuk buang sampah bekas makanan secara sembarangan.
Sebagai ruang publik, taman yang luasnya tidak lebih besar dari Taman Lampion ini menurut saya dapat dijadikan salah satu pilihan bagi masyarakat yang ingin merasakan hijaunya Kota dan tempat rekreasi bagi keluarga tanpa harus mengeluarkan uang untuk menikmati beberapa wahana yang disediakan. Harapan saya semoga dengan dibangunnya ruang terbuka hijau di pusat-pusat kota akan memberikan pilihan lain bagi masyarakat untuk berekreasi selain di pusat perbelanjaan dan tempat makan, selain itu semoga taman-taman ini juga memberi keteduhan dan dapat mempercantik Kota di tengah ramainya lalu lintas jalan raya. Dan yang terpenting semoga masyarakat di sini juga ikut menjaga dan merawat fasilitas publik yang disediakan dengan sebaik-baiknya, misalnya dengan tidak membuang sampah sembarang di kawasan taman, tidak merusak tanaman dan fasilitas yang ada, dan tidak mengotori kawasan ini dengan mencoret-coret sesuka hati.
Jadi, masihkah kamu enggan main ke taman di kota kami?
Love,
Ajeng
Gambar di ambil dari sini |
Latar : Pasar Malam dadakan Taman Kota |
Gambar diambil dari sini |
Jadi, masihkah kamu enggan main ke taman di kota kami?
Love,
Ajeng
Tuesday, September 01, 2015
Monumen Juang 45 Klaten
Saya sebenarnya
cukup bingung akan menulis apa untuk postingan pertama di #30HariKotakuBercerita
ini, karena saya sendiri nggak cukup paham tentang ikon kota kelahiran saya
ini. Kebingungan saya ini akhirnya membuat saya melempar pertanyaan ke beberapa
teman yang tinggal di kota yang sama, dan jawabannya cukup beragam. Ada yang
menyebut ikon kuliner yang cabangnya sudah tersebar di banyak Kota, ada pula
yang menyebut Candi Prambanan yang sebenarnya kota kami hanya kebagian tempat
parkirnya hehe. Sampai saya menulis postingan ini pun saya masih belum yakin
apakah bangunan/tempat ini adalah ikon Klaten, namun biarlah saya mencoba
membagi yang saya tahu menurut sudut pandang saya sendiri.
Klaten adalah Kabupaten
kecil yang sebenarnya kalau kita punya cukup waktu untuk berkeliling ke setiap
sudut daerahnya maka kita akan berkata dalam hati “Oh ternyata Klaten nggak sekecil
ini ya” begitu kira-kira respon saya ketika pernah suatu kali berkeliling ke
beberapa daerah di Klaten yang baru pertama kali saya tahu.
Tentang ikon kota
ini maka saya akan bercerita tentang Monumen Juang 45 Klaten yang letaknya tepat di kawasan GOR Gelarsena Klaten. Monumen juang ini dibuat dalam rangka untuk mengenang jasa para pahlawan
kemerdekaan. Diresmikan oleh Soepardjo Roestam pada tanggal 20 Mei 1976.
Di monumen ini terdapat beberapa patung pahlawan yang sedang mengangkat
senjata dan juga ada monumen besar yang terpasang lambang Garuda
Pancasila.
Akhir-akhir
ini monumen juang ini sering sekali menjadi salah satu objek untuk
berfoto, terutama oleh sebagian anak muda Klaten. Hal ini bagus tentu
saja, setidaknya dengan begitu banyak anak muda yang mulai mencintai
tempat kelahirannya dengan cara mengeksplor tempat-tempat yang ada di
sekitarnya, dan tentu saja dengan catatan tidak merusak bangunan dan
tetap menjaga kebersihan di sekitar tempat tersebut.
Saya
tidak bisa terlalu bisa menjelaskan sejarah dibangunnya monumen ini
dengan amat detil, mengingat di sana tidak ada penjelasan yang rinci
mengenai monumen ini, dan belum ada pula yang bisa menjelaskannya pada
saya.
Mungkin ini dulu yang dapat saya ceritakan tentang kabupaten tempat saya tinggal. Kabupaten kecil yang menghubungkan Solo dan Yogyakarta, Kabupaten yang mungkin terdengar asing di telinga kalian. Selanjutnya selama 30 hari ke depan saya akan mulai bercerita tentang Kabupaten ini sepengetahuan saya, baik dan buruknya.
Love,
Ajeng
Monday, August 24, 2015
Saya Tidak MA(MP)U
Kemarin saya
mendapat sebuah nasihat dari teman saya, kira-kira seperti ini nasihatnya “Untuk apa memelihara luka jika sembuh itu
menyenangkan?”. Seketika saya merasa tertohok akan nasihat teman saya itu,
dan mulai memikirkan apa yang dia katakan.
Beberapa orang entah
mengapa lebih suka memelihara luka yang mereka alami daripada mencoba
mengobatinya dan mulai berpikir untuk sembuh. Bahkan, tak sedikit dari kita
yang dalam kehidupannya justru berteman dengan luka, mengakrabinya seperti tak
ada lagi hal lain yang bisa dijadikan sahabat karib.
Beberapa memilih menutup
mata dan hati mereka dari kenyataan, terlebih kenyataan buruk atau yang tidak
sesuai dengan ekspektasi yang telah dibangun. Beberapa orang lebih suka
terjerembab dan terjerumus pada keadaan yang sebenarnya menyiksa dan
menyakitinya, daripada mulai mencoba menghadapinya. Beberapa orang lebih suka
memelihara luka mereka daripada memutuskan untuk sembuh dan menjadi sehat,
menjadi lebih berdaya.
Dalam kehidupan
ini tak semua hal yang terjadi akan sesuai dengan kehendak kita, dan berada di
luar jangkauan kita sebagai manusia. Tak semua hal berjalan baik seperti yang
sudah direncanakan dan impikan, yang pada akhirnya memberikan rasa kecewa, putus
asa dan kenyataan pahit dalam hidup.
Ada yang memilih
untuk diam, memilih untuk tak beranjak dari keadaan yang semakin buruk, memilih
untuk tak menghadapi kenyataan.
Seringkali kita merasa
tak mampu keluar dari kepedihan yang dialami, padahal sebenarnya kita bisa saja
melaluinya bahkan mungkin keadaan akan jauh lebih baik setelah kita berani
untuk menghadapi itu semua. Persoalannya adalah apakah kita mau untuk
melakukannya? Apakah kita cukup berani untuk keluar dan menghadapi kenyataan
yang tak jarang pahit itu?
Saya ambil contoh
misalnya dalam sebuah hubungan percintaan. Kamu punya pasangan dan kalian sudah
bertahun-tahun pacaran. Namun, dalam beberapa bulan terakhir ini hubungan
kalian mulai renggang, mulai tak bergelora seperti dulu, yang lalu kamu ketahui
bahwa penyebabnya adalah pacarmu berselingkuh dengan orang lain. Kamu tahu
pacarmu berselingkuh dan hubungan kalian sudah tidak sehat. Kamu sudah
mengingatkan pacarmu akan hal itu, dia berjanji untuk tak mengulanginya, dan
kamu percaya. Namun beberapa waktu setelah itu dia melakukan kesalahan yang
sama, mengulanginya lagi dan lagi entah berapa kali, dan kamu tetap bertahan
untuk bersama.
Kamu tahu bahwa
keputusanmu untuk bertahan adalah kesalahan, dan justru hanya akan menyakitkan
hatimu, namun kamu tetap bergeming dan menjalani semuanya seperti tak ada
masalah. Kamu tahu sebenarnya kamu harus berhenti, namun kamu tidak. Lalu kamu
akan mulai berkata bahwa kamu tidak bisa mengakhiri hubungan percintaanmu pada
orang-orang yang menasihatimu untuk berhenti dengan alasan kamu sudah terlalu
nyaman, terlalu sayang untuk mengakhiri hubungan yang sudah bertahun-tahun
lamanya itu. Kenyataan yang sebenarnya adalah kamu BISA untuk mengakhirinya, hanya saja kamu TAK MAU melakukannya.
TIDAK MAU dan TIDAK MAMPU adalah dua hal yang berbeda. Seringkali orang merasa
tidak mampu, tidak bisa melakukan sesuatu yang lebih untuk dirinya, padahal
sebenarnya dia hanya tak mau. Tidak mau adalah sebuah keengganan dari diri
sendiri yang belum tentu sudah kita lakukan, sedangkan tidak mampu berarti kita
sudah mencoba melakukannya. Bukankah itu adalah dua hal yang berbeda?
Beberapa alasan
yang mungkin melatarbelakangi hal tersebut adalah keadaan terlalu nyaman yang
selama ini dijalani, atau justru nyali kita yang terlalu kecil. Tak jarang kita
merasa tidak mampu melakukan sesuatu yang lebih untuk diri kita sendiri karena
alasan-alasan tersebut. Kita takut akan kegagalan, takut akan kesepian, takut
akan rutinitas yang tidak akan lagi sama, takut akan masa esok yang tidak kita
ketahui nasibnya, lalu memilih untuk diam dan tidak melakukan sesuatu.
Ini pula yang
sebenarnya sedang saya pelajari, dan masih akan terus saya coba. Sejujurnya
saya sendiri juga tergolong orang yang bernyali kecil itu, pun dalam
golongan orang yang terlalu menikmati kenyamanan. Saya seringkali merasa takut
akan dunia luar, merasa takut melakukan sesuatu yang belum pernah saya lakukan,
takut untuk move-on dari patah hati dan memilih menikmati luka tersebut, serta beberapa
ketakutan-ketakutan lain yang sebenarnya semua itu hanya terjadi di pikiran
saya sendiri. Saya lebih sibuk memikirkan hal buruk yang belum tentu akan
terjadi dan menghampiri hidup saya di esok hari (amit-amit) daripada mulai
mencoba menaklukan rasa takut saya tersebut. Saya masih sering berkata dan menyakinkan diri sendiri bahwa saya tidak mampu untuk move on, tidak mampu untuk menulis lebih banyak, tidak mampu melakukan hal-hal yang belum pernah saya lakukan, padahal pada kenyataannya saya tidak mau, saya tidak ingin mencoba.
Dan postingan kali ini, seperti postingan lain saya adalah sebuah pengingat untuk diri saya sendiri bahwa saya harus belajar untuk percaya dan berusaha ma(mp)u melakukan sesuatu yang lebih untuk diri saya sendiri, mencoba untuk ma(mp)u keluar dari kecemasan dan ketakutan yang selama ini membayangi dan menghantui kemana pun saya pergi (oke ini berlebihan).
Dan postingan kali ini, seperti postingan lain saya adalah sebuah pengingat untuk diri saya sendiri bahwa saya harus belajar untuk percaya dan berusaha ma(mp)u melakukan sesuatu yang lebih untuk diri saya sendiri, mencoba untuk ma(mp)u keluar dari kecemasan dan ketakutan yang selama ini membayangi dan menghantui kemana pun saya pergi (oke ini berlebihan).
Untuk kalian
yang sering dijadikan tempat curhat, yang sering mendengar keluhan orang
terdekat kalian tentang berbagai masalah yang menimpa keluarga, sahabat atau
teman kalian, mohon ingatkan apakah mereka sudah mencoba melakukan atau
mengusahakan hal itu ketika mereka mulai berkata ‘saya tidak mampu’ (Ini termasuk buat teman-teman saya hehehehe), karena
masalah, sepahit dan seburuk apapun itu toh tetap harus kita hadapi dan selesaikan bukan?
Love, Ajeng
Thursday, August 20, 2015
Kopi dan Beberapa Ingatan Tentangmu
Kopi, dengan
berbagai wujudnya selalu berhasil menghadirkan kamu dalam ingatan. Aku sering
menemukanmu dalam secangkir kopi yang kadang ku buat di pagi atau malam hari,
atau beberapa kali ketika aku membaca buku yang menyebut dan bercerita mengenai
kopi. Bahkan tak jarang dari beberapa sajak pendek mengenai kopi yang ditweet
oleh penyair-penyair kesayanganku di twitter.
Terkadang aku tersenyum bahagia, namun tak jarang senyumku adalah senyum getir ketika tak sengaja mengingatmu dalam beberapa hal tersebut.
Kopi, entah mengapa
selalu membuatku mudah untuk mengingatmu. Mengingat suaramu yang kadang
terdengar renyah namun tak jarang sumbang, mengingat obrolan-obrolan seru kita, mengingat debat-debat tak penting yang pernah terjadi, dan terutama mengingat
senyummu yang sebenarnya tidak seteduh suara Mas Is Payung Teduh tapi cukup menyenangkan.
Seperti sore ini,
lagi-lagi dengan mudahnya aku menemukanmu dalam secangkir kopi dingin yang ku
buat untuk menemani sepiring omelet hangat. Menu sederhana yang sering dibuat
oleh sahabatku ketika tidak ada ide lagi untuk makan apa ketika di kos dulu.
Ah, aku pun rindu dengannya juga.
Aku bukan seorang coffee addict sepertimu, namun sesekali aku
meminumnya. Aku lebih sering minum kopi bungkus yang mudah ku jumpai di warung
dekat tempat tinggalku, atau kopi yang disajikan di beberapa kafe yang ku
kunjungi. Aku tak terbiasa meminum kopi
hitam pekat berampas, namun aku amat menikmati aromanya yang entah mengapa
sangat menenangkan. Hey, masih bolehkah aku menyebut diriku sebagai peminum kopi?
Kopi dan kamu, dua hal yang hampir sama dalam hidupku. Aku bisa menikmatinya ketika hangat pun ketika dingin. Kopi mengajarkan bahwa sepahit-pahitnya rasa yang ditinggalkan, namun aku masih bisa menyesap sedikit rasa manis ketika meminumnya dan masih bisa menikmatinya dengan tertawa. Mungkin ini yang membuatku selalu merasa menemukanmu di tiap hal yang berkaitan dengan kopi.
Terima kasih untukmu dan juga kopi, yang telah memberi dua rasa itu dalam satu sesapan.
Pic source : The NY Post |
Jadi, sudah berapa cangkir kopi yang kau minum hari ini? Dan bagaimana kabarmu?
- Klaten, Agustus 2015 -
Subscribe to:
Posts (Atom)