Kemarin saya
mendapat sebuah nasihat dari teman saya, kira-kira seperti ini nasihatnya “Untuk apa memelihara luka jika sembuh itu
menyenangkan?”. Seketika saya merasa tertohok akan nasihat teman saya itu,
dan mulai memikirkan apa yang dia katakan.
Beberapa orang entah
mengapa lebih suka memelihara luka yang mereka alami daripada mencoba
mengobatinya dan mulai berpikir untuk sembuh. Bahkan, tak sedikit dari kita
yang dalam kehidupannya justru berteman dengan luka, mengakrabinya seperti tak
ada lagi hal lain yang bisa dijadikan sahabat karib.
Beberapa memilih menutup
mata dan hati mereka dari kenyataan, terlebih kenyataan buruk atau yang tidak
sesuai dengan ekspektasi yang telah dibangun. Beberapa orang lebih suka
terjerembab dan terjerumus pada keadaan yang sebenarnya menyiksa dan
menyakitinya, daripada mulai mencoba menghadapinya. Beberapa orang lebih suka
memelihara luka mereka daripada memutuskan untuk sembuh dan menjadi sehat,
menjadi lebih berdaya.
Dalam kehidupan
ini tak semua hal yang terjadi akan sesuai dengan kehendak kita, dan berada di
luar jangkauan kita sebagai manusia. Tak semua hal berjalan baik seperti yang
sudah direncanakan dan impikan, yang pada akhirnya memberikan rasa kecewa, putus
asa dan kenyataan pahit dalam hidup.
Ada yang memilih
untuk diam, memilih untuk tak beranjak dari keadaan yang semakin buruk, memilih
untuk tak menghadapi kenyataan.
Seringkali kita merasa
tak mampu keluar dari kepedihan yang dialami, padahal sebenarnya kita bisa saja
melaluinya bahkan mungkin keadaan akan jauh lebih baik setelah kita berani
untuk menghadapi itu semua. Persoalannya adalah apakah kita mau untuk
melakukannya? Apakah kita cukup berani untuk keluar dan menghadapi kenyataan
yang tak jarang pahit itu?
Saya ambil contoh
misalnya dalam sebuah hubungan percintaan. Kamu punya pasangan dan kalian sudah
bertahun-tahun pacaran. Namun, dalam beberapa bulan terakhir ini hubungan
kalian mulai renggang, mulai tak bergelora seperti dulu, yang lalu kamu ketahui
bahwa penyebabnya adalah pacarmu berselingkuh dengan orang lain. Kamu tahu
pacarmu berselingkuh dan hubungan kalian sudah tidak sehat. Kamu sudah
mengingatkan pacarmu akan hal itu, dia berjanji untuk tak mengulanginya, dan
kamu percaya. Namun beberapa waktu setelah itu dia melakukan kesalahan yang
sama, mengulanginya lagi dan lagi entah berapa kali, dan kamu tetap bertahan
untuk bersama.
Kamu tahu bahwa
keputusanmu untuk bertahan adalah kesalahan, dan justru hanya akan menyakitkan
hatimu, namun kamu tetap bergeming dan menjalani semuanya seperti tak ada
masalah. Kamu tahu sebenarnya kamu harus berhenti, namun kamu tidak. Lalu kamu
akan mulai berkata bahwa kamu tidak bisa mengakhiri hubungan percintaanmu pada
orang-orang yang menasihatimu untuk berhenti dengan alasan kamu sudah terlalu
nyaman, terlalu sayang untuk mengakhiri hubungan yang sudah bertahun-tahun
lamanya itu. Kenyataan yang sebenarnya adalah kamu BISA untuk mengakhirinya, hanya saja kamu TAK MAU melakukannya.
TIDAK MAU dan TIDAK MAMPU adalah dua hal yang berbeda. Seringkali orang merasa
tidak mampu, tidak bisa melakukan sesuatu yang lebih untuk dirinya, padahal
sebenarnya dia hanya tak mau. Tidak mau adalah sebuah keengganan dari diri
sendiri yang belum tentu sudah kita lakukan, sedangkan tidak mampu berarti kita
sudah mencoba melakukannya. Bukankah itu adalah dua hal yang berbeda?
Beberapa alasan
yang mungkin melatarbelakangi hal tersebut adalah keadaan terlalu nyaman yang
selama ini dijalani, atau justru nyali kita yang terlalu kecil. Tak jarang kita
merasa tidak mampu melakukan sesuatu yang lebih untuk diri kita sendiri karena
alasan-alasan tersebut. Kita takut akan kegagalan, takut akan kesepian, takut
akan rutinitas yang tidak akan lagi sama, takut akan masa esok yang tidak kita
ketahui nasibnya, lalu memilih untuk diam dan tidak melakukan sesuatu.
Ini pula yang
sebenarnya sedang saya pelajari, dan masih akan terus saya coba. Sejujurnya
saya sendiri juga tergolong orang yang bernyali kecil itu, pun dalam
golongan orang yang terlalu menikmati kenyamanan. Saya seringkali merasa takut
akan dunia luar, merasa takut melakukan sesuatu yang belum pernah saya lakukan,
takut untuk move-on dari patah hati dan memilih menikmati luka tersebut, serta beberapa
ketakutan-ketakutan lain yang sebenarnya semua itu hanya terjadi di pikiran
saya sendiri. Saya lebih sibuk memikirkan hal buruk yang belum tentu akan
terjadi dan menghampiri hidup saya di esok hari (amit-amit) daripada mulai
mencoba menaklukan rasa takut saya tersebut. Saya masih sering berkata dan menyakinkan diri sendiri bahwa saya tidak mampu untuk move on, tidak mampu untuk menulis lebih banyak, tidak mampu melakukan hal-hal yang belum pernah saya lakukan, padahal pada kenyataannya saya tidak mau, saya tidak ingin mencoba.
Dan postingan kali ini, seperti postingan lain saya adalah sebuah pengingat untuk diri saya sendiri bahwa saya harus belajar untuk percaya dan berusaha ma(mp)u melakukan sesuatu yang lebih untuk diri saya sendiri, mencoba untuk ma(mp)u keluar dari kecemasan dan ketakutan yang selama ini membayangi dan menghantui kemana pun saya pergi (oke ini berlebihan).
Dan postingan kali ini, seperti postingan lain saya adalah sebuah pengingat untuk diri saya sendiri bahwa saya harus belajar untuk percaya dan berusaha ma(mp)u melakukan sesuatu yang lebih untuk diri saya sendiri, mencoba untuk ma(mp)u keluar dari kecemasan dan ketakutan yang selama ini membayangi dan menghantui kemana pun saya pergi (oke ini berlebihan).
Untuk kalian
yang sering dijadikan tempat curhat, yang sering mendengar keluhan orang
terdekat kalian tentang berbagai masalah yang menimpa keluarga, sahabat atau
teman kalian, mohon ingatkan apakah mereka sudah mencoba melakukan atau
mengusahakan hal itu ketika mereka mulai berkata ‘saya tidak mampu’ (Ini termasuk buat teman-teman saya hehehehe), karena
masalah, sepahit dan seburuk apapun itu toh tetap harus kita hadapi dan selesaikan bukan?
Love, Ajeng