Hujan masih setia mengguyur jalanan yang kami lalui. Kami tidak banyak berbicara, hanya menikmati perjalanan ini dalam diam dan hujan. Sesekali aku mencuri pandang megamati lekat-lekat wajahnya yang basah tersiram air hujan. Dia memang tampan, dan aku merasa tersihir oleh paduan wajahnya.
"Kamu memang benar-benar tampan". Dia menoleh ke arahku yang secara tidak sadar telah mengatakan bahwa ia tampan. Dia tersenyum,sangat menawan. Senyum yang bisa meluluhlantahkan pertahananku. Senyum yang membuat jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya.
"Kamu juga cantik, selalu cantik. Dari dulu sampai sekarang tidak pernah berubah, masih sama".
"Kamu juga cantik, selalu cantik. Dari dulu sampai sekarang tidak pernah berubah, masih sama".
"Dulu?". Dia lagi-lagi tertawa mendengar pertanyaanku. Kupikir tidak ada yang lucu dengan pertanyaanku, justru aku merasa heran dengannya yang menganggap bahwa kami sudah sejak lama saling mengenal.
"Aku lupa kamu tidak pernah mengenalku. Aku mengenalmu sejak 2 tahun belakangan ini. Lewat jendela tempatku bekerja, aku bisa melihatmu dari kejauhan". Kami saling berhadapan, saling mengawasi lekat-lekat.
Ada perasaan yang tidak bisa kuterjemahkan ketika memandanginya. Dia menggenggam tanganku, kehangatan genggamannya mengaliri tubuhku yang kedinginan karena hujan. Ada rasa aman dan nyaman ketika genggaman itu semakin erat.
Kami akhirnya sampai di depan rumahku. Jemarinya masih menggenggam jemariku, bahkan genggaman itu terasa lebih erat lagi, seakan enggan berpisah.
Ada perasaan yang tidak bisa kuterjemahkan ketika memandanginya. Dia menggenggam tanganku, kehangatan genggamannya mengaliri tubuhku yang kedinginan karena hujan. Ada rasa aman dan nyaman ketika genggaman itu semakin erat.
Kami akhirnya sampai di depan rumahku. Jemarinya masih menggenggam jemariku, bahkan genggaman itu terasa lebih erat lagi, seakan enggan berpisah.
"Ayahku pasti marah melihat putri semata wayangnya ini basah kuyup. Aku harus segera masuk" Kataku padanya.
Dia sepertinya mengerti apa maksudku dan mulai melepaskan genggaman itu. Sebuah kecupan kecil hinggap di dahiku, tidak lama namun aku merasa amat bahagia.
Dia sepertinya mengerti apa maksudku dan mulai melepaskan genggaman itu. Sebuah kecupan kecil hinggap di dahiku, tidak lama namun aku merasa amat bahagia.
"Sampai jumpa, aku pamit dulu. Sampaikan maafku untuk ayahmu karena telah mengajak putri semata wayangnya kehujanan". Dia lalu pergi, meninggalkanku yang sedang tersenyum lebar.
No comments:
Post a Comment