Monday, September 16, 2013

Call us : Dazzle

my best angel (left to right) : Juju, Mbun, Punch (without Me >.<)
"Persahabatan bagai kepompong, mengubah ulat menjadi kupu-kupu. Persahabatan bagai kepompong, hal yang tak mudah berubah jadi indah"

Pernah dengar lagu itu? Yap, Kepompong nya Sindentosca. Cerita ini nggak jauh-jauh dari lirik lagu di atas. Ini tentang sahabat-sahabat saya, partner in crime, my best devil angel in this world.

Sebut saja kami Dazzle. Kenapa Dazzle?
Karena kami memang mempesona, berkilau sepanjang masa :D (Oke sorry ini narsis).

Dulu, kami menamai geng kelompok bermain kami ini dazzling. Anggotanya ada 8 orang, tapi pelan-pelan seleksi alam berbicara dan mengerucut menjadi 5 dan lalu menjadi 4. Dazzling diambil dari nama kami berdelapan, ya sebenarnya nggak cocok sama inisial nama kami masing-masing ya tapi kami paksain aja, namanya juga gadis remaja belia yang baru ranum-ranumnya jadi wajarlah kalau sedikit berlebihan (Catat ya : Kami nggak alay).

Kami sahabatan dari smp, zaman masih suka foto dari angle atas samping, zaman masih suka kirim surat curhatan ke radio (lawas banget ya), zaman masih suka jalan kaki atau sepedaan ke mana-mana. Sebenarnya persahabatan ini didasari atas ketidaksengajaan, ya gimana sih kalau ketemu sama orang yang cocok ngobrol, klik, yaudah jadi akrab sampai sering banget curhat jamaahan.

Dulu banget ya pas awal-awal temenan akrab, kami selalu ke mana-mana berdelapan. Bayangin aja jalan ke mana aja berdelapan udah kayak rombongan ibu pkk. Duduk aja juga harus sebaris, kalau nggak bisa ya mentoknya deketan bangku. Sampai-sampai ya dulu itu sering banget nyoretin bangku sekolah dengan kapur pakai tulisan "DIPESAN" biar nggak pada duduk di situ terus geng hore saya bisa duduk deketan dan ngegosip selama pelajaran. Udah macam geng Nero ya, menguasai kelas :"D.

Seiring berjalannya waktu, yang namanya temenan juga ada pasang surutnya yang pada akhirnya satu-per satu anggota Dazzling ini pada ngejauh sendiri-sendiri, tapi ketiga temen saya yang difoto dan satu teman lagi (Namanya Firda, tapi kami memanggilnya Mamah) tetep ada di samping saya, tetep jadi saksi hidup kenakalan dan aib-aib saya dan mewarnai hidup saya.
Kami tetap jalan berlima, dan akhirnya mengukuhkan mengganti nama menjadi Dazzle. Waktu ganti nama itu, kami udah nggak ngasal lagi karena udah nyari artinya di kamus, dan ternyata artinya indah gitu.

Lulus dari smp, kami masuk ke SMA yang berbeda-beda. Saya, Mba Juju, Teteh dan Kakak tetap di SMA yang berada di kota kami, namun Mamah sekolah di luar kota, Purwokerto tepatnya. Meskipun sekolah kami berbeda-beda, tapi kami masih punya jadwal untuk ketemuan sekedar saling curhat atau makan bareng atau jalan-jalan ke SMP setiap minggunya, jadi ya temenan kita langgeng deh (Ini tanpa Mamah karena dia sendiri jarang pulang).

Lulus SMA, kami melanjutkan studi ke kota yang berbeda-beda. Saya dan Mba Juju kebetulan kuliah di satu kampus, namun berbeda jurusan. Kalau Teteh dan Kakak masih satu kota, tapi beda kampus. Perbedaan tempat studi ini semakin membuat jarak antara kami menjadi semakin renggang. Saya jarang sekali berkomunikasi dengan Teteh ataupun Kakak yang berbeda kota, sehingga kalau sesekali kami janjian ketemu, ada jarak yang terasa di antara kami berempat.

Sejujurnya awal-awal dulu setelah sekian lama nggak ketemu, saya ngerasain banget perubahan-perubahan sahabat-sahabat saya yang nggak saya ikuti. Saya sempat merasa asing dengan mereka, bertahun-tahun kenal tapi rasanya seperti teman yang baru saja mengajak berjabat tangan. Asing satu sama lain.
Namun lama kelamaan, perasaan asing itu mulai luntur karena intensitas komunikasi yang kami jalankan mulai membaik.

Saya sadar, bahkan amat sadar bahwa setiap orang akan berubah, cepat ataupun lambat. Hanya saja, mungkin saya yang susah menerima perubahan orang-orang di sekitar saya itu. Saya tetap diam di situ, memperhatikan orang berubah tapi tidak siap dengan perubahan yang terjadi sehingga saya merasa terpinggirkan dan tidak mengenal mereka.

Saya sangat amat sayang pada sahabat-sahabat saya ini. Meskipun kadang mereka itu ngeselin, sering jadi devil-devil di sekitar saya :p, dan berisiknya minta ampun, tapi mereka sebenarnya adalah orang-orang yang amat hangat. Orang-orang yang justru ngajakin saya foya-foya pas saya lagi putus cinta, orang-orang yang ngehapus tangisan saya ketika saya lagi patah-patahnya, orang yang blak-blakan bilang kejelekan saya di depan saya, orang-orang yang ada ketika saya seneng, galau gundah gulana, sedih dan saat saya lagi bertindak bodoh-bodohnya.

Saya pernah dengar, kalau persahabatan yang dijalani lebih dari 6 tahun itu akan menjadi persahabatan selamanya seumur hidup, jadi saya berharap kalau persahabatan saya dengan tiga cewek edan ini benar-benar menjadi persahabatan selamanya, yang walau diiringi pasang-surut tapi tetap saling bersama dan menyayangi satu sama lain dan tak lekang oleh waktu.

I Love you, my Dazzle :*

Saturday, September 14, 2013

Wanita berjilbab merah dan lelaki berompi orange

"Mas, aku bisa jelaskan apa yang terjadi" Kata wanita berjilbab merah kepada lelaki berompi orange.
"Sudah, aku tidak butuh penjelasanmu. Aku sudah melihat semuanya dengan mata kepalaku sendiri"
"Tapi itu tidak seperti yang kamu bayangkan, Mas. Dengarkan penjelasanku dulu"
"Aku tidak mau dengar, kamu telah menyakiti hatiku" Lalu laki-laki berompi orange itu pergi meninggalkan wanita berjilbab merah di jalan raya, seorang diri.
***
Bukan, adegan sesungguhnya yang terjadi bukan seperti skrip yang saya tulis di atas. Itu semua cuma rekaan saya saja :D
Wanita berjilbab merah tidak sedang merayu ataupun menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi antara dia dan lelaki berompi orange. Mereka sama sekali tidak ada hubungan yang khusus, bahkan saling kenal dan tahu nama saja tidak. Sang lelaki berompi orange juga bukan sedang tidak mengacuhkan penjelasan si wanita tentang hubungan mereka selanjutnya, lagi-lagi saya katakan, mereka tidak saling kenal.
Kejadian sesungguhnya(yang mungkin tidak sesungguhnya terjadi juga) adalah teman saya (wanita berjilbab merah) sedang meminta keterangan tentang proses pengerjaan jalan raya di suatu kota. Kami (saya dan beberapa teman, termasuk wanita berjilbab merah) mendapat tugas untuk membuat presentasi mengenai iklim kerja di suatu tempat kerja, dan akhirnya kami memilih jalan raya sebagai lokasi pengamatan. Yang kami lakukan di sana adalah mengamati kinerja para pekerja yang sedang menggarap perbaikan jalan raya, mewawancarai mereka tentang beban pekerjaan yang diterima, dan merasakan bagaimana iklim kerja yang ada di lokasi tersebut. Sang wanita berjilbab merah mungkin sedang menanyakan berapa jam kerja si mas berompi orange ini, apakah dia pernah megalami cedera-cedera saat bekerja dan lain sebagainya mengenai pekerjaan mereka. Si mas berompi orange juga melayani pertanyaan wanita berjilbab merah dengan baik, menjawab semua pertanyaan yang ditanyakan dengan santai.
Satu hal yang menggelitik otak saya ketika melihat foto itu adalah adegan di atas yang sudah saya tulis. Adegan itulah yang pertama kali muncul di otak saya ketika melihat foto itu. Adegan di mana sepasang kekasih sedang terlibat konflik percintaan. Di mana yang menjadi pihak bersalah adalah si wanita, dan si lelaki merasa sangat dikecewakan oleh sang wanita. Yang pada akhirnya adegan itu ditutup dengan kemarahan si lelaki yang memuncak dan meninggalkan sang wanita menangis di jalan raya, seorang diri. Daaan eits, adegan belum berhenti di situ. Saat wanita menangis tersedu-sedu di jalan raya, pekerja-pekerja jalan lainnya-yang notabene adalah kawan si lelaki-datang menghampiri si wanita, menggodanya hingga sang wanita semakin menangis histeris dan sekonyong-konyong laki-laki itu kembali lagi dan mengusir orang-orang yang mengganggu kekasihnya. Dan pertengkaran usai, mereka saling berpelukan dan melupakan kesalahpahaman di antara mereka.

Itu yang ada di otak saya ketika melihat gambar itu. Dari sana saya belajar bahwa imajinasi setiap orang itu berbeda atas apa yang dilihatnya. Tidak semua orang akan berpikiran sama dengan saya ketika melihat foto itu, adegan-adegan lain mungkin akan tercipta dari kacamata-kacamata lainnya.
Sama seperi hidup. Setiap orang berbeda dalam memandang hidup yang mereka jalani. Setiap orang mungkin akan berbeda dalam hal pemaknaan hidup atas apa yang sudah dijalani. Mungkin kejadian yang dialami sama oleh beberapa orang, namun dalam hal pemaknaan dan penerimaannya, tidak semuanya sama. Ada yang bisa tegar dan kembali bangkit ketika patah hati, ada pula yang justru terpuruk dan menangisi keadaan ketika dia dihadapkan pada kejadian yang sama.
Jadi, bagaimana pandangan kita tentang hidup, ya itu tergantung dari sisi mana kita melihat potongan-potongan kejadian itu terjadi, apakah positif, negatif, absurd, atau apapun, itu semua terserah kita.

Friday, September 13, 2013

Senja dan atap gedung

Mereka bukan sepasang kekasih, mereka bukan sepasang suami-istri, mereka tidak ada hubungan dalam hal percintaan. Mereka hanya sebatas teman. Teman yang siluetnya tidak sengaja terekam di lensa kamera handphone buluk saya.
Saya memotretnya kala senja di suatu hari yang tidak terlalu mendung setelah kami menonton pertandingan sepak bola yang diadakan kampus kami. Entah apa yang sedang mereka bicarakan saat itu, saya juga tidak tahu. Sang perempuan, kawan baik saya di kampus. Kami sering menghabiskan waktu bersama untuk sekedar makan bersama dan menggosip hal-hal tidak penting. Sang laki-laki, seorang kakak senior yang berbeda jurusan dengan kami, tapi sering sekali menghabiskan waktu sorenya bersama kami. Kadang hanya sekedar mengobrol sambil menonton basket, menonton sepak bola ataupun futsal. Aneh memang kegiatan yang kami lakukan ini berkisar dari menonton pertandingan-pertandingan olahraga itu.
Dua orang difoto adalah kawan, tidak terlalu akrab pun tidak sebatas saling tahu. Mereka bukan sepasang kekasih, mereka bukan sepasang suami-istri, mereka tidak ada hubungan dalam hal percintaan, mereka hanya sebatas teman yang menghabiskan senja secara bersama di atap gedung olahraga kampus kami, dan itu yang membuatnya terasa istimewa.
Karena bukankah tidak harus mempunyai hubungan yang spesial untuk bisa menikmati senja secara istimewa? Cukup dengan seorang kawan, tidak perlu seperti sahabat dan tidak perlu banyak kata untuk menikmatinya secara bersama.

Thursday, September 12, 2013

Panggil aku Jenderal


Namaku, ya panggil saja aku Jenderal karena kelak aku akan jadi Jenderal pemberani yang menegakkan keadilan. Pagi ini, sama seperti pagi yang lainnya aku bangun setelah Ibuku yang kadang sangat bawel itu menciprat-cipratkan air di mukaku. Seusai mandi, aku sarapan bersama Ibu, Bapak dan kakak perempuanku di ruang makan sederhana kami. Sarapanku? tentu saja makanan enak yang selalu dimasak oleh Ibu. Pagi ini menu sarapan keluarga kami adalah sayur asam, tempe goreng dan ikan teri yang rasanya sangat asin seperti ketekku ketika aku selesai bermain bola dengan temanku. Ibu tersenyum dan mengelus kepalaku saat melihatku makan dengan lahapnya.
"Makan yang banyak, Nak. Biar pinter, biar bisa jadi Jenderal" Itu kata Ibu setiap kali aku makan dengan lahapnya. Aku sendiri tidak begitu mengerti kenapa Ibu selalu mengatakan agar aku jadi Jenderal, namun sejak saat itu aku bercita-cita menjadi Jenderal.
Pagi ini aku ditugasi Ibu guru untuk memimpin barisan teman-teman sebelum masuk kelas. Pukul 07.00 pagi lonceng Sekolah dibunyikan oleh Bapak guru, dan aku segera bersiap mengambil poisisi sebagai pemimpin barisan. Teman-temanku malah asyik berlari-larian di halaman sekolah, dan tak memperdulikanku yang sudah siap di depan kelas.
"Tania, Putri, Aam, Panjul ayo semua berbaris. Kalian ini seperti anak kecil yang nakal saja, ini kan sudah bel. Aku mau menyiapkan barisan nih" Kataku pada mereka yang masih berlari-larian itu. Mereka segera menghampiri dan mengikuti barisan yang sudah mulai rapi sambil menggerutu. Aku mulai menyiapkan barisan dan teman-teman mengikuti aba-aba yang ku komandoi, lalu mereka masuk ke kelas dengan rapi dan tidak banyak bicara.
"Bagus sekali, Nak. Kamu menyiapkan teman-temanmu dengan baik. Pantas kalau kamu dipanggil Jenderal" Ibu guru tersenyum padaku, mengacungkan kedua jempolnya tanda bahwa Beliau bangga padaku. 
Panggil saja aku Jenderal, karena esok aku akan jadi jenderal yang menumpas kejahatan. Panggil aku Jenderal karena aku akan menjadi pemimpin yang adil dan jujur. Panggil aku jenderal, karena sekarang aku memang seorang jenderal cilik yang pemberani.

Wednesday, September 11, 2013

Sepak botol



"Bro, main bola yok kita"

"Mana bolanya Bro? Kagak ada bola di sini"

"Plis deh Bro, thinking smart, itu ada botol air mineral"

"Maksud lu kita main pake itu, Bro?"

"Kagak, kita main pake bekel. Yaiyalah pake itu"

Lalu kami main bola botol bersama. Bukan permainan putar botol seperti yang sering dilakukan orang dalam permainan truth or dare, tapi botol untuk di tendang-tendang.
Pelataran gedung kampus yang kosong kami pakai sebagai lapangan sepak botol, dan pemainnya pun tak perlu banyak orang, cukup kami berempat.

Permainan berlangsung seru, kami saling gocek satu sama lain, saling beradu dan akhirnya aku berhasil memasukkan botol ke gawang semu yang kami buat. Kami bersorak kegirangan, begitu pula para perempuan yang menonton kami. Mereka bersorak-sorak mengelu-elukanku. Semangatku semakin membara mendengar para perempuan yang menyoraki kami, aku pun menambah kekuatan pada tendanganku yang justru menyebabkanku jatuh dan terpeleset.
BRUKKK.
Badanku yang lumayan besar rubuh ke lantai, mengenai botol yang masih ada sedikit sisa airnya.
Bajuku basah, rembes terkena air. Kawan-kawanku hanya melihat dan tertawa terbahak-bahak. Aku pun ikut menertawakan keadaan dan kelakukan kekanakan kami.
Sore itu indah, meski badanku masih sakit karena jatuh tapi aku bahagia menghabiskan sore dengan kawan-kawanku. Aku pulang kos dengan senyum lebar, senyum yang sudah beberapa tahun ini tak nampak di wajah tegangku.

Panti Werda

Jadi, setahunan yang lalu saya pernah ikut acara seperti bakti sosial gitu, kebetulan bakti sosialnya di salah satu Panti Werda yang dikelola oleh Pemerintah Kota Semarang. Nah, di panti tersebut, saya ketemu banyak sekali nenek-nenek dan kakek-kakek (yaiyalah). Panti ini menampung para orang tua yang sudah nggak punya keluarga, jadi kebanyakan memang yang sebatang kara, tapi nggak jarang juga yang emang dititipin sama keluarganya di sini.
Waktu itu, saya sama teman-teman saya yang datang ke sana ngelakuin hal yang sejujurnya belum pernah saya lakuin. Di sana, saya belajar mandiin nenek-nenek yang udah susah jalan, mandiin nenek-nenek yang di kursi roda. Kenapa kerjaan saya mandiin semua ya? Iya karena pas saya datang, itu emang jam mandinya jadi ya mandiin. Kalau teman saya yang lain, ya beda-beda tugasnya tergantung mereka masuk kawasan rumah yang mana jadi tugasnya disesuaikan. Nah di sana itu ada beberapa blok rumah yang kawasannya beda-beda. Ada kawasan yang untuk para lansia yang memang sudah tidak bisa melakukan apa-apa, kawasan yang masih normal bisa jalan sendiri, makan sendiri gitu deh. Terus setiap blok rumah itu juga ada namanya sendiri-sendiri, cuman saya lupa nama rumahnya apa aja :D
Setelah mandiin itu, tugas kedua saya adalah nyuapin nenek-nenek, tapi pas mau saya suapin eh ternyata neneknya belum mau makan jadi yaudah deh sayanya balik ke aula panti. Di sana, kami udah nyiapin acara kecil-kecil yang intinya sih buat bikin nenek dan kakek di sana seneng. Jadilah waktu itu kami melakukan senam tertawa.
Instruktur senam tertawa : Tika- Mba Yuni


Nenek-neneknya pada semangat senam
 Memang sih, yang kami lakukan cuma sebatas ngajakin senam, ngajakin gerak ala kadarnya tapi tau nggak itu bikin mereka seneng lho. Saya bisa ngelihat mereka senyum bahagia di usia senja mereka. Karena mereka ini sebenernya kan cuma pengen diperhatiin, disayangin layaknya orangtua yang disayanagi anaknya. Jadi pas kami semua datang ke sana, bantu mandiin, nyuapi, ngajakin ngobrol, ngajakin ketawa-kwtiei ya jelas mereka seneng banget.
Oh iya, nenek-nenek di sini hebat-hebat lho, karena di panti juga diajarin buat kreasi kerajinan tangan jadinya ya mereka produktif meskipun udah tua gitu. Satu lagi yang saya salut, ya sama pengurus panti nya. Bapak-bapak dan ibu-ibu yang ngurusin di situ itu ramah-ramah, selalu ngurusin nenek-nenek dan kakek-kakek ini dari bangun tidur sampai mau tidur lagi. TOP banget kan ya.

Peserta senam tertawa. Lumayan banyak ya :))

 

Pulang dari sana, saya belajar banyak hal. Saya belajar bahwa nggak selamanya bahagia itu berkisar materi aja, tapi ada bentuk bahagia lain yang esensinya lebih dalam, lebih haqiqi yaitu cinta kasih. Orang di sekitar kita kadang cuma butuh yang namanya diperhatiin, diajak ngobrol bareng, dirawat pas sakit daripada terus-terusan dicekokin sama materi tapi hatinya kosong, nggak disirami sama kasih sayang. Saya belajar semangat yang nggak pernah pupus dari para kakek-nenek ini. Di usia senja mereka, mereka masih semangat menjalani hidup meskipun nggak ada keluarga yang menemani, tetap berkarya sesuai kemampuannya, tetap menjadi cahaya dan bahagia bagi orang lainnya. Saya bersyukur dipertemukan dengan mereka semua, dibolehkan kenalan dan tahu gimana ngurusin nenek-kakek yang sudah sepuh, dan saya bahagia :)