Monday, August 24, 2015

Saya Tidak MA(MP)U



Kemarin saya mendapat sebuah nasihat dari teman saya, kira-kira seperti ini nasihatnya “Untuk apa memelihara luka jika sembuh itu menyenangkan?”. Seketika saya merasa tertohok akan nasihat teman saya itu, dan mulai memikirkan apa yang dia katakan.
Beberapa orang entah mengapa lebih suka memelihara luka yang mereka alami daripada mencoba mengobatinya dan mulai berpikir untuk sembuh. Bahkan, tak sedikit dari kita yang dalam kehidupannya justru berteman dengan luka, mengakrabinya seperti tak ada lagi hal lain yang bisa dijadikan sahabat karib.
Beberapa memilih menutup mata dan hati mereka dari kenyataan, terlebih kenyataan buruk atau yang tidak sesuai dengan ekspektasi yang telah dibangun. Beberapa orang lebih suka terjerembab dan terjerumus pada keadaan yang sebenarnya menyiksa dan menyakitinya, daripada mulai mencoba menghadapinya. Beberapa orang lebih suka memelihara luka mereka daripada memutuskan untuk sembuh dan menjadi sehat, menjadi lebih berdaya.
Dalam kehidupan ini tak semua hal yang terjadi akan sesuai dengan kehendak kita, dan berada di luar jangkauan kita sebagai manusia. Tak semua hal berjalan baik seperti yang sudah direncanakan dan impikan, yang pada akhirnya memberikan rasa kecewa, putus asa dan kenyataan pahit dalam hidup.
Ada yang memilih untuk diam, memilih untuk tak beranjak dari keadaan yang semakin buruk, memilih untuk tak menghadapi kenyataan.
Seringkali kita merasa tak mampu keluar dari kepedihan yang dialami, padahal sebenarnya kita bisa saja melaluinya bahkan mungkin keadaan akan jauh lebih baik setelah kita berani untuk menghadapi itu semua. Persoalannya adalah apakah kita mau untuk melakukannya? Apakah kita cukup berani untuk keluar dan menghadapi kenyataan yang tak jarang pahit itu?

Saya ambil contoh misalnya dalam sebuah hubungan percintaan. Kamu punya pasangan dan kalian sudah bertahun-tahun pacaran. Namun, dalam beberapa bulan terakhir ini hubungan kalian mulai renggang, mulai tak bergelora seperti dulu, yang lalu kamu ketahui bahwa penyebabnya adalah pacarmu berselingkuh dengan orang lain. Kamu tahu pacarmu berselingkuh dan hubungan kalian sudah tidak sehat. Kamu sudah mengingatkan pacarmu akan hal itu, dia berjanji untuk tak mengulanginya, dan kamu percaya. Namun beberapa waktu setelah itu dia melakukan kesalahan yang sama, mengulanginya lagi dan lagi entah berapa kali, dan kamu tetap bertahan untuk bersama.
Kamu tahu bahwa keputusanmu untuk bertahan adalah kesalahan, dan justru hanya akan menyakitkan hatimu, namun kamu tetap bergeming dan menjalani semuanya seperti tak ada masalah. Kamu tahu sebenarnya kamu harus berhenti, namun kamu tidak. Lalu kamu akan mulai berkata bahwa kamu tidak bisa mengakhiri hubungan percintaanmu pada orang-orang yang menasihatimu untuk berhenti dengan alasan kamu sudah terlalu nyaman, terlalu sayang untuk mengakhiri hubungan yang sudah bertahun-tahun lamanya itu. Kenyataan yang sebenarnya adalah kamu BISA untuk mengakhirinya, hanya saja kamu TAK MAU melakukannya.

TIDAK MAU dan TIDAK MAMPU adalah dua hal yang berbeda. Seringkali orang merasa tidak mampu, tidak bisa melakukan sesuatu yang lebih untuk dirinya, padahal sebenarnya dia hanya tak mau. Tidak mau adalah sebuah keengganan dari diri sendiri yang belum tentu sudah kita lakukan, sedangkan tidak mampu berarti kita sudah mencoba melakukannya. Bukankah itu adalah dua hal yang berbeda?
Beberapa alasan yang mungkin melatarbelakangi hal tersebut adalah keadaan terlalu nyaman yang selama ini dijalani, atau justru nyali kita yang terlalu kecil. Tak jarang kita merasa tidak mampu melakukan sesuatu yang lebih untuk diri kita sendiri karena alasan-alasan tersebut. Kita takut akan kegagalan, takut akan kesepian, takut akan rutinitas yang tidak akan lagi sama, takut akan masa esok yang tidak kita ketahui nasibnya, lalu memilih untuk diam dan tidak melakukan sesuatu.
Ini pula yang sebenarnya sedang saya pelajari, dan masih akan terus saya coba. Sejujurnya saya sendiri juga tergolong orang yang bernyali kecil itu, pun dalam golongan orang yang terlalu menikmati kenyamanan. Saya seringkali merasa takut akan dunia luar, merasa takut melakukan sesuatu yang belum pernah saya lakukan, takut untuk move-on dari patah hati dan memilih menikmati luka tersebut, serta beberapa ketakutan-ketakutan lain yang sebenarnya semua itu hanya terjadi di pikiran saya sendiri. Saya lebih sibuk memikirkan hal buruk yang belum tentu akan terjadi dan menghampiri hidup saya di esok hari (amit-amit) daripada mulai mencoba menaklukan rasa takut saya tersebut. Saya masih sering berkata dan menyakinkan diri sendiri bahwa saya tidak mampu untuk move on, tidak mampu untuk menulis lebih banyak, tidak mampu melakukan hal-hal yang belum pernah saya lakukan, padahal pada kenyataannya saya tidak mau, saya tidak ingin mencoba.

Dan postingan kali ini, seperti postingan lain saya adalah sebuah pengingat untuk diri saya sendiri bahwa saya harus belajar untuk percaya dan berusaha ma(mp)u melakukan sesuatu yang lebih untuk diri saya sendiri, mencoba untuk ma(mp)u keluar dari kecemasan dan ketakutan yang selama ini membayangi dan menghantui kemana pun saya pergi (oke ini berlebihan).
Untuk kalian yang sering dijadikan tempat curhat, yang sering mendengar keluhan orang terdekat kalian tentang berbagai masalah yang menimpa keluarga, sahabat atau teman kalian, mohon ingatkan apakah mereka sudah mencoba melakukan atau mengusahakan hal itu ketika mereka mulai berkata ‘saya tidak mampu’ (Ini termasuk buat teman-teman saya hehehehe), karena masalah, sepahit dan seburuk apapun itu toh tetap harus kita hadapi dan selesaikan bukan?

Love, Ajeng

Thursday, August 20, 2015

Kopi dan Beberapa Ingatan Tentangmu



Kopi, dengan berbagai wujudnya selalu berhasil menghadirkan kamu dalam ingatan. Aku sering menemukanmu dalam secangkir kopi yang kadang ku buat di pagi atau malam hari, atau beberapa kali ketika aku membaca buku yang menyebut dan bercerita mengenai kopi. Bahkan tak jarang dari beberapa sajak pendek mengenai kopi yang ditweet oleh penyair-penyair kesayanganku di twitter.
Terkadang aku tersenyum bahagia, namun tak jarang senyumku adalah senyum getir ketika tak sengaja mengingatmu dalam beberapa hal tersebut.
Kopi, entah mengapa selalu membuatku mudah untuk mengingatmu. Mengingat suaramu yang kadang terdengar renyah namun tak jarang sumbang, mengingat obrolan-obrolan seru kita, mengingat debat-debat tak penting yang pernah terjadi, dan terutama mengingat senyummu yang sebenarnya tidak seteduh suara Mas Is Payung Teduh tapi cukup menyenangkan.
Seperti sore ini, lagi-lagi dengan mudahnya aku menemukanmu dalam secangkir kopi dingin yang ku buat untuk menemani sepiring omelet hangat. Menu sederhana yang sering dibuat oleh sahabatku ketika tidak ada ide lagi untuk makan apa ketika di kos dulu. Ah, aku pun rindu dengannya juga.

Aku bukan seorang coffee addict sepertimu, namun sesekali aku meminumnya. Aku lebih sering minum kopi bungkus yang mudah ku jumpai di warung dekat tempat tinggalku, atau kopi yang disajikan di beberapa kafe yang ku kunjungi.  Aku tak terbiasa meminum kopi hitam pekat berampas, namun aku amat menikmati aromanya yang entah mengapa sangat menenangkan. Hey, masih bolehkah aku menyebut diriku sebagai peminum kopi?

Kopi dan kamu, dua hal yang hampir sama dalam hidupku. Aku bisa menikmatinya ketika hangat pun ketika dingin. Kopi mengajarkan bahwa sepahit-pahitnya rasa yang ditinggalkan, namun aku masih bisa menyesap sedikit rasa manis ketika meminumnya dan masih bisa menikmatinya dengan tertawa. Mungkin ini yang membuatku selalu merasa menemukanmu di tiap hal yang berkaitan dengan kopi.
Terima kasih untukmu dan juga kopi, yang telah memberi dua rasa itu dalam satu sesapan.
Pic source : The NY Post
Jadi, sudah berapa cangkir kopi yang kau minum hari ini? Dan bagaimana kabarmu?


- Klaten, Agustus 2015 -

Wednesday, August 12, 2015

Belum berjudul



Aku gagal lagi. Kegagalan yang entah sudah ke berapa kali sejak aku dilahirkan ke dunia ini. Kegagalan mungkin sudah menjadi makananku sehari-hari dan akrab dalam hidupku, atau mungkin kata ‘berhasil’ tidak pernah mau bersahabat denganku. Aku tak tahu sebabnya yang jelas keberhasilan masih sangat jauh dari jangkauan mataku.
Hidupku dipenuhi dengan kegagalan dan kekacauan yang tidak semuanya terjadi karena ulahku, beberapa adalah sumbangsih dari orang-orang di sekitar yang merasa berhak atas hidupku. Aku bahkan sudah lupa kali terakhir aku merasa bahagia karena apa yang ku lakukan dan ku usahakan membuahkan keberhasilan. Entahlah.
Seringkali ketika malam hari dan semua orang sudah terlelap dalam mimpi indahnya, sedang aku masih terjaga, aku menangis seorang diri dalam kamarku yang gelap. Tangisan tanpa isak, namun terasa lebih menyakitkan daripada tangisan ketika aku sering terjatuh saat masih kecil dulu. Aku menangisi semua kegagalan yang terjadi, harapan-harapan yang sudah terlanjur dipupuk terlalu tinggi dan wajah-wajah kecewa dari orang tuaku. Semua itu berkelebat silih berganti tanpa bisa ku atur dan semakin menyiksa hatiku. Tak ada yang lebih membuatku patah hati dan sedih berkali lipat kecuali melihat kekecewaan dan kesedihan pada wajah lelah dan gurat senja orang tuaku. Duniaku seakan runtuh dan tak ada lagi cahaya terang yang membawa kebahagiaan ketika aku meyaksikan itu semua.
Harapan dan kegagalan, aku benci dua kata itu. Seharusnya aku tak terlalu berharap pada apapun di dunia ini sehingga aku tak akan kecewa jika harapanku tak sesuai dengan kenyataan, seharusnya aku bisa mengantisipasi kegagalan yang pernah ku lakukan agar tak ku ulangi lagi, seharusnya.

Ibu mengetuk pintu kamarku pelan namun tak ada jawaban. Ketukan itu berhenti setelah beberapa kali tak ku acuhkan. Kubenamkan diriku dalam selimut tebal dan mulai menangis. Tangisan sunyi tanpa isak, entah untuk yang ke berapa kali sejak aku mulai mengerti rasanya kecewa karena harapan yang berlebihan. Air mataku merembes dan membasahi bantal beruang kesayanganku. Aku benci dunia ini, Bu...

bersambung.............

Tuesday, August 04, 2015

"Tempat Sampah"

Menyenangkan ketika kamu tahu bahwa kamu adalah orang yang dicari ketika orang lain, entah keluarga, sahabat, teman atau sebatas kenalan mempercayakanmu untuk menjadi pendengar mereka. Beberapa orang yang memilih bercerita kepada orang lain tentang masalahnya adalah orang yang pemberani. Mereka mempercayakan sesuatu yang mungkin sebenarnya mereka tutup rapat dan memilih untuk membagi itu pada orang lain yang hanya mereka inginkan. Beruntunglah kalian yang dipercaya sebagai orang itu.
Pic source : ciricara.com
Kadangkala, ku pikir menjadi 'tempat sampah' itu adalah sesuatu yang menyedihkan sekaligus menyenangkan. Menyedihkan karena beberapa kali aku masih terjebak dengan pikiranku sendiri yang sering mengatakan 'yaelah kamu cari aku kalau lagi butuh aja' atau 'yaelah giliran ada masalah atau lagi butuh temen ngobrol larinya ke aku', pikiran dan perasaan yang mungkin terasa picik.
Sebenarnya menyebut orang yang menjadi tempat berkeluh kesah sebagai 'tempat sampah' pun terasa jahat dan picik, tapi ku pikir tak ada yang salah dengan kata itu. Bukankah 'tempat sampah' menjadi sesuatu yang berguna ketika tak ada lagi yang dapat menampung 'sampah' yang ada di kepala dan hati kita?

Menjadi 'tempat sampah' ku kira tidak selalu harus memberi solusi untuk semua masalah dan hal yang diceritakan, namun tak ada salahnya pula ketika orang lain bercerita kamu memberi solusi yang kamu pikir baik untuknya ketika dia memintamu untuk memberi saran pada masalahnya.
Tapi tidak semua orang yang bercerita bertujuan untuk mencari solusi, ada yang bercerita karena memang ingin bercerita dan ingin didengarkan. Kamu tahu, merasa didengarkan menurutku adalah bentuk dari perhatian itu sendiri. Kamu merasa ada orang lain yang memperhatikanmu dan merasa bahwa kamu tidak sendirian. Dengan bercerita (tentunya kepada orang kamu percaya) perasaanmu akan lebih baik, ya memang tak lantas beban dan masalahmu selesai, namun aku yakin perasaanmu akan jauh lebih ringan dan lebih baik (Ini yang terjadi padaku).

Menjadi pendengar yang baik pun tak kalah susah sebenarnya. Butuh kesabaran dan pengertian untuk tidak menyela dan memotong saat orang bercerita, serta tidak langsung memberi penghakiman pada cerita orang tersebut. Bukankah itu hal yang tidak mudah? Mengingat keinginan manusia yang kadang juga ingin menjadi pusat perhatian.
Maka berbahagialah kalian yang mempunyai 'tempat sampah' yang baik dan mengerti, yang tidak dengan mudah menyalahkan dan menghakimi kalian atas semua hal, dan yang mau meluangkan waktunya yang berharga hanya demi mendengar kalian bercerita dan berkeluh kesah.

Love,
Ajeng