Saturday, December 26, 2015

Gagal?

Minggu ini adalah minggu penutup akhir tahun yang cukup berat dan emosional buat saya. Seharusnya minggu ini adalah minggu yang penuh suka cita karena suasana libur panjang, tapi hal itu tak berlaku buat saya. Nyatanya saya mendapat kado akhir tahun yang cukup berbeda.

Hal ini dimulai ketika kamis sore lalu, tepatnya setelah pulang dari rumah kakak sulung saya, banyak sekali pesan masuk di salah satu grup whatsapp yang saya ikuti. Usut punya usut pesan-pesan itu berasal dari grup rekrutmen salah satu BUMN yang sedang saya ikuti. Grup itu dibuat untuk ajang silaturahmi dan berbagi informasi para peserta rekrutmen mengenai jadwal dan proses seleksi. Salah satu peserta seleksi mengabarkan bahwa hasil wawancara terakhir seleksi BUMN tersebut sudah keluar di web. Tentu saja kabar itu membuat saya deg-degan bukan main karena sudah saya tungu sejak beberapa hari lalu.

Saya makin penasaran ingin mengetahui hasil seleksi setelah membaca beberapa teman dinyatakan lolos seleksi, dan sesegera mungkin menyambungkan koneksi internet. Saya buka web yang dimaksud, namun saya sedikit ragu dan tidak siap membaca hasilnya. Saya picingkan mata saya sambil terus merapal doa, berharap hasilnya akan menggembirakan hati saya ( hal yang sama saya lakukan juga ketika melihat pengumuman hasil wawancara sebelumnya). Setelah berhasil login, keraguan dan ketakutan itu sempurna membuat saya terdiam cukup lama. Saya dinyatakan tidak lolos mengikuti tahapan terakhir dalam proses seleksi yaitu medical check up.
Butuh waktu sepersekian menit bagi saya untuk cukup awas hingga akhirnya saya mengabarkan hasil itu pada orang tua. Bapak yang mendengar kabar itu lalu meminta untuk ditunjukkan pengumuman yang dimaksud. Beliau lalu mulai bertanya mengenai proses seleksi kemarin, apakah saya dapat menjawab dengan baik atau tidak. Pertanyaan yang biasa saja sebenarnya namun dalam kondisi yang masih kaget dan sedih buat saya pertanyaan seperti itu cukup membuat saya tertekan dan merasa dihakimi. Saya merasa telah mengecewakan harapan orang tua saya, dan tentunya harapan diri sendiri, lalu saya mulai menangis.

Beberapa saat kemudian seorang teman semasa kuliah yang juga mengikuti tes di kota yang sama dan kebetulan juga diwawancarai oleh orang yang sama memberikan kabar bahwa dia juga berhenti di tahap ini. Saya juga dia, menangis di tempat kami masing-masing juga saling menguatkan satu sama lain. Ini momen yang cukup menguras emosi bagi kami berdua. Gagal di lintasan menuju finish itu menyakitkan.

Buat saya pribadi, seleksi ini adalah yang paling menguras energi dan mental dibanding seleksi lain yang pernah saya ikuti. Pada awalnya saya memang tidak terlalu antusias seperti teman lain. Hanya sekadar mendaftar dan tidak berpikir terlalu jauh. Namun setelah melalui tahapan demi tahapan yang panjang dan sempat membuat sakit karena saya selalu kehujanan ketika tes, maka ketika sampai pada tahap wawancara akhir, harapan yang tadinya hanya seujung kuku pun melesat naik, tumbuh dan terus tumbuh memenuhi hati saya. Harapan untuk segera bekerja sesuai apa yang saya ingini, harapan untuk bekerja di bidang pelayanan, dan tentu saja harapan untuk segera membahagiakan orang tua dan mengurangi beban mereka.

Kecewa? Tentu saja. Sedih? Apalagi. Saya bahkan berkali-kali menangis dan meyakinkan diri sendiri untuk tidak denial pada kenyataan. Mungkin reaksi saya ini berlebihan, tapi nyatanya saya memang cukup terpukul. Lebih sedih lagi ketika melihat wajah Ibu dan Bapak. Walaupun tidak tampak raut kecewa yang berlebihan dan selalu mengatakan 'gapapa bukan rezeki kamu' tapi saya tahu dalam hati mereka juga berharap. Ini lebih menyakitkan dan membebani daripada rasa kecewa diri sendiri. Sekarang saya sudah bisa menerima, ya memang belum sepenuhnya tapi setidaknya saya sudah cukup ringan menjawab ketika ada yang bertanya mengenai seleksi kemarin dan bisa menuliskannya.

Mungkin pada kesempatan kali ini jalan saya memang hanya sampai di sini, dan ini bukan rezeki saya, tapi saya tidak menyebut ini sebagai kegagalan. Ini adalah proses, dan di akhir pasti selalu saja ada yang berhasil dan tidak. Mungkin bukan sekarang, dan mungkin bukan di tempat itu rezeki saya berada. Yang masih saya ingat dan yakini adalah ketika satu pintu tertutup, maka Tuhan akan bukakan seribu pintu lain. Pintu-pintu yang dinilai lebih tepat dan cocok untuk saya.
Rezeki dan jodoh sudah ada jatahnya masing-masing dan tidak akan salah alamat. Mungkin saja saat ini rezeki dan jodoh saya sedang mencari alamat rumah saya, ya walaupun saya tidak tahu kapan akan bertemu, tapi selama saya mau berusaha dan tidak melupakan doa, mereka akan segera menemukan alamat saya. Semoga

Monday, November 09, 2015

Cerita Hujan

Musim hujan tahun ini berjalan lambat, November ini hujan baru mulai turun di beberapa kota, salah satunya di tempat di mana aku tinggal. Aku sendiri cukup antusias saat pertama kali hujan turun di kotaku. Hanya gerimis kecil yang bahkan tidak sampai lima menit tapi cukup membuatku tertawa kegirangan.
Banyak orang yang mungkin membenci hujan, namun tak sedikit pula yang mencintainya. Aku adalah orang yang mecintai sekaligus merasa kesal beberapa kali karena hujan.

pic taken from here
Aku mencintai hujan ketika aku sedang berada di dalam ruangan dan tidak merasakan dingin karena basah yang menyentuh tubuhku. Aku sangat suka menikmati hujan dari dalam kamarku. Aku akan menghabiskan waktu hanya dengan duduk di atas tempat tidur dan memandang hujan turun  lewat jendela kamar. Kamu mungkin akan membayangkan apa yang kulakukan ini seperti adegan-adegan film yang biasa kamu tonton, namun yang kulakukan tak seromantis itu. Aku tidak menikmati hujan dengan ditemani segelas cokelat hangat, lalu memandang embun yang menempel di kaca jendelaku. Aku hanya akan melihat keluar, memandang bulir air yang jatuh ke tanah dan sesekali mengendus bau tanah basah yang dihasilkan.
Pada momen-momen melankolis seperti itu, biasanya beberapa kenangan masa lalu menyeruak di kepala, misalnya kenangan ketika mantan pacarku dulu memberi sedikit kejutan kecil untukku. Aku masih ingat ketika mantan pacarku itu menyuruhku untuk memeriksa hadiah yang dia siapkan di laci mejaku, namun tak kutemukan apapun selain sampah bungkus permen sisa kemarin. Lalu aku mulai mengecek semua laci meja di kelasku itu demi menemukan hadiah yang dia maksud. Dan betapa bahagianya diriku waktu itu ketika menemukan sekotak kecil cokelat beserta pesan pendek yang ternyata menyasar di laci meja temanku. “Cokelat manis untuk perempuan manis. Semoga kamu senang dengan hadiah kecil ini” pipiku bersemu merah saat membaca pesan pendek itu. Lalu malam harinya mantan pacarku itu menelepon dan bertanya bagaimana perasaanku saat menerima hadiah yang ia berikan, dan kuceritakan kebingunganku saat harus menelusuri satu persatu meja kelas demi menemukan cokelat yang rasanya enak sekali itu. Kami berdua bercerita banyak hal dan tertawa malam itu, bahagia karena merasa saling menyayangi satu sama lain. Aku suka hujan saat itu, karena membawa ingatan menyenangkan di kepalaku.
Pada kesempatan yang lain, hujan mampu membuatku kesal, terutama ketika sedang bepergian dengan mengendarai motor kesayanganku sedang aku lupa membawa jas hujan. Aku tidak suka harus basah-basahan dan merasa kedinginan ketika mengendarai motorku. Memang itu salahku karena aku lupa membawa jas hujan, namun tetap saja aku akan kesal dan menyalahkan kenapa hujan harus turun saat aku bepergian dan lupa membawa jas hujan. Egois dan tidak bersyukur memang kelakuanku itu kalau dirasa.
Aku juga tidak suka hujan yang tak jarang membawa kenangan yang tidak ingin kuingat-ingat lagi. Misalnya ketika tiba-tiba aku teringat akan kebodohanku di masa lalu yang membuatku menyesal karena telah melakukannya. Mengingat kebodohan yang pernah kulakukan membuatku merasa menjadi orang yang menyebalkan, tidak peka, dan jahat yang pada akhirnya justru membuatku sedih ketika teringat semuanya. Aku akan menangis setelahnya, menyesali semua hal yang pernah kulewatkan dan keputusan yang pernah kuambil.
Aku punya kesan sendiri terhadap hujan. Ia seperti mesin waktu yang selalu berhasil membawaku mengunjungi masa lalu dan memaksaku mengingat kenangan yang pernah terjadi, baik itu yang menyenangkan atau yang buruk. Hujan selalu membuatku larut bersama kenangan dan meninggalkan kesan lain di hatiku.

Sampai detik ini, aku masih antusias dan bersorak senang ketika hujan mulai turun. Esok lusa, mungkin aku tidak akan seantusias seperti kali pertama hujan turun, mungkin aku akan mulai kesal, mengeluh dan mengumpat ketika hampir setiap hari harus kehujanan dan merasakan dinginnya, tapi aku selalu percaya bahwa hujan akan selalu memberikan kesejukan, keberkahan dan manfaat bagi orang-orang yang membutuhkannya. Semoga

Sunday, September 13, 2015

Bukan 'Sekedar' Pekerjaan

Cerita kelima di 30 Hari Kotaku Bercerita

Ternyata sudah separuh perjalanan mengikuti proyek menulis ini, meskipun kadang masih susah dan bingung mau nulis apa tapi sejauh ini saya masih menikmatinya.
Oke mari kita langsung ke pokoknya, tema hari ini adalah 'pekerjaan kami sehari-hari' jadi saya akan sedikit bercerita mengenai beberapa pekerjaan yang dikerjakan masyarakat tempat saya tumbuh besar ini. Secara umum masyarakat Klaten masih banyak yang berprofesi sebagai petani dan pedagang, namun di beberapa daerah terutama di desa wisata, masyarakat sekitar berprofesi sesuai dengan potensi wisata yang sedang berkembang di daerah tersebut, misalnya sebagai perajin tenun lurik, dan perajin gerabah.

Luas lahan pertanian Kabupaten Klaten mencapai hampir lebih dari 65% dari total wilayahnya, dengan didukung kecukupan irigasi yang baik dan lahan yang subur menjadikan Klaten menjadi salah satu produsen beras yang cukup diperhitungkan di Indonesia. Salah satu jenis beras yang sudah terkenal di seantero Nusantara adalah beras rojolele yang berasal dari suatu daerah di Klaten yang bernama Delanggu. Tak jarang karena luasnya lahan pertanian ini banyak sekali masyarakat yang berprofesi sebagai petani, baik itu yang mengerjakan sawah milik sendiri atau sawah milik orang lain.
Bertani, saya kira masih merupakan satu profesi yang menurut masyarakat masih sangat menjanjikan dan dapat dijadikan tumpuan ekonomi.

Saya sendiri sejujurnya belum pernah melihat dengan pasti lahan-lahan persawahan di daerah Delanggu yang berasnya sudah terkenal dan banyak dikonsumsi masyarakat luas itu, namun saya tidak sangsi bahwa Klaten memang sangat kaya dengan sawah. Pernah suatu kali saya berkeliling ke beberapa daerah di Klaten hingga ke beberapa desa yang belum pernah saya jamah dan melihat hamparan sawah yang membentang luas, dan sejauh mata memandang hanya warna hijau padi dan biru langit yang saya lihat. Tidak hanya di satu atau dua desa, namun banyak sekali desa yang masih mengandalkan pertanian sebagai roda perekonomian mereka, termasuk di desa saya sendiri.
Gambar diambil dari sini
Kalau ada yang belum tahu apa itu lurik, lurik adalah kain tenun yang pola gambarnya berupa garis-garis memanjang vertikal yang pengerjaannya menggunakan ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin). Beberapa daerah seperti Cawas, Pedan, Bayat adalah wilayah yang menjadi sentra kerajinan lurik, maka tak heran jika mayoritas penduduk sekitar berprofesi sebagai perajin tenun lurik. Yang saya baca pada tahun 2012 data dari BPS total ada sekitar 1200 perajin tenun lurik yang tersebar di beberapa daerah sentra lurik di berbagai wilayah di Klaten. Untuk mendukung potensi daerah itu, Pemerintah Kabupaten Klaten juga telah menggalakan program lurikisasi yaitu dengan menjadikan kain tenun lurik sebagai salah satu seragam wajib yang harus dikenakan pegawai pemerintahan, bukan hanya untuk mengangkat nama lurik, namun juga untuk mengangkat potensi ekonomi masyarakat.
Perajin tenun lurik. (Gambar diambil dari sini)
Monumen perajin tenun lurik dengan ATBM. (Gambar diambil dari sini)
Selain perajin tenun lurik, ada pula perajin gerabah di desa wisata Melikan. Hampir sebagian besar masyarakatnya menggeluti profesi ini, dan di desa wisata yang lokasinya berdekatan dengan kawasan wisata ziarah Paseban Bayat itu mudah ditemui sentra-sentra kerajinan di pinggir jalan yang menjual berbagai gerabah hasil buatan tangan penduduk lokal. Teknik yang digunakan para perajin dalam membuat gerabah dan keramik di Desa Melikan adalah dengan teknik putaran miring. Teknik putaran miring ini menggunakan alat putar dari kayu dan bambu dengan posisi miring kurang lebih 35 derajat. Menurut kabar kerajinan gerabah Desa Melikan ini juga sudah dilirik pasar mancanegara seperti beberapa negara di Eropa lho, jadi saya kira industri gerabah Melikan ini juga tak kalah dengan industri gerabah Kasongan di Yogyakarta dan cukup untuk memberikan penghidupan yang layak bagi penduduk lokal.
Gambar diambil dari sini
Itu adalah beberapa pekerjaan yang sampai sekarang masih banyak digeluti masyarakat Klaten. Memang sudah banyak pembangunan yang terjadi di Klaten mulai dari infrastruktur, pembangunan mental dan pendidikan yang menjadikan masyarakat menekuni profesi-profesi lain yang seringkali dianggap sebagai profesi yang wah seperti karyawan perusahaan, pegawai negeri, pengusaha, dokter, dan sebagainya namun jangan pula menganggap sebelah mata profesi-profesi lain, karena di luar itu tidak sedikit pula masyarakat Klaten yang masih mempertahankan kearifan-kearifan lokal daerahnya dan menjadikan potensi-potensi yang sudah ditinggalkan nenek moyangnya sebagai ujung tombak mata pencaharian mereka dan meningkatkan perekonomian mereka.

Pada akhirnya ukuran kecukupan pendapatan yang diperoleh juga kembali lagi ke pribadi orang yang melakukan pekerjaan itu dan kebutuhannya, karena sejatinya sebuah pekerjaan, apapun itu selama masih dilakukan dengan hati, halal, tidak merugikan orang lain dan dapat memberikan penghidupan serta kebahagian bagi yang melakukannya adalah sebaik-baiknya pekerjaan.

Love,
Ajeng

Monday, September 07, 2015

Pasar Senggol

Cerita ketiga di 30 Hari Kotaku Bercerita..

Ketika saya sadar tema hari ketiga dalam proyek ini adalah pasar, saya bingung, asli bingung karena nggak ngerti mau nulis apa tentang pasar. Jujur saya sama sekali nggak tahu menahu tentang dunia pasar, tapi ya okelah anggap aja ini tantangan buat saya.
Kali ini saya akan cerita tentang salah satu pasar tradisional yang letaknya nggak jauh dari rumah saya. Namanya adalah Pasar Senggol. Lokasinya (menurut yang saya baca) adalah di Desa Drono, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Indonesia. Tapi kalau menurut saya sih pasar ini berada di perbatasan antara Desa Drono dan Desa Candirejo, karena lokasinya diantara kedua desa tersebut.

Mengapa disebut Pasar Senggol, saya sendiri juga nggak tahu alasannya karena kebetulan belum pernah mendengar sejarahnya. Pasar Senggol tak jauh berbeda dengan pasar tradisional kebanyakan, di sana banyak kios kios pedagang yang menjual beraneka ragam barang, dari bahan makanan mentah, makanan jadi, sampai peralatan rumah tangga. Luas Pasar Senggol sekitar 600 meter yang terdiri atas 24 kios dan enam los serta digunakan oleh 75 pedagang.
Gambar diambil dari sini
Saat masih kecil, kira-kira waktu masih TK saya masih sering main ke pasar ini. Terkadang ikut Ibu yang berbelanja, dan tak jarang ikut saudara saya yang kebetulan adalah salah satu pedagang di pasar. Bentuk kios dan los di pasar senggol terdiri dari emperang-emperan kecil dan tidak bersekat papan ataupun tembok. Hanya ada beberapa kios saja yang berbentuk seperti gubuk yang dibatasi tiang kayu dan bersekat, selebihnya hanya emperan semen. Biasanya pembagian blok pedagang di sana berdasarkan jenis barang yang dijual. Misalnya pedagang daging biasanya nggak deket-deket sama pedagang sayur dan buah, mungkin untuk mengurangi risiko terjadinya kontaminasi silang kali ya.

Setelah cukup dewasa, saya sudah sangat jarang ke pasar senggol dan melihat keadaan dalamnya meskipun beberapa kali sering lewat di jalan depan pasar. Kabar yang saya baca, katanya pasar ini akan segera direnovasi keadaannya oleh pemerintah daerah karena sudah banyak sekali bagian pasar yang rusak seperti atap bolong dan genting yang sudah banyak pecah. Semoga saja kabar ini benar dan segera direalisasikan karena pasar ini adalah salah satu pusat perekonomian bagi beberapa masyarakat sekitar.

Love,
Ajeng

Friday, September 04, 2015

Taman : Hijau di Teriknya Kota



Cerita kedua di 30 Hari Kotaku Bercerita

Kalau mendengar kata ruang publik maka yang akan terpikir di kepala saya adalah taman tempat masyarakat biasanya berkumpul. Dulu, kira-kira beberapa tahun yang lalu kalau saya tidak salah ingat, di Klaten sendiri belum ada taman kota atau sudah ada namun saya tidak cukup gaul untuk tahu ada taman kota. Setahu saya memang ada hutan kota, tapi yang saya tahu dulu semasa saya masih SMP hutan kota yang letaknya persis di depan sekolah saya ini tidak dirawat dengan baik, rimbun, dan justru terkesan angker karena lokasinya yang kebetulan dekat dengan kawasan pemakaman padahal menurut saya kalau dirawat dengan baik tempat ini lucu buat lokasi piknik karena pohon-pohonnya yang tinggi dan rindang dan bisa juga buat foto pra nikah (kalau mau).

Beberapa tahun belakangan ini, Pemerintah Klaten sedang gencar-gencarnya membangun ruang terbuka hijau yang bisa dinikmati oleh masyarakat, yaitu taman serta membenahi hutan kota yang awalnya dibiarkan terbengkalai. Ada beberapa taman yang dibangun antara lain taman lampion (yang sampai sekarang saya masih belum tahu mengapa disebut taman lampion padahal sama sekali nggak ada lampionnya), taman kecil di belakang Stadion (yang sayangnya saya tidak tahu apa namanya), dan tentu saja taman kota yang berada di jantungnya kota Klaten.

Taman lampion ini terletak di belakang gedung PMI Kabupaten Klaten, tepatnya di Kelurahan Bareng Lor, Klaten Utara. Taman ini tergolong taman baru di Kabupaten Klaten. Pertama kali saya dengar nama taman lampion, yang terpikir adalah taman pelangi di Monumen Yogya Kembali, yang dipenuhi dengan lampion lucu yang terpasang di beberapa bagian, namun ternyata saat ke sana taman ini tak jauh berbeda dengan taman pada umumnya, hanya saja konsep taman ini lebih condong ke gaya Tionghoa. Beberapa bangunan gazebo didesain dengan gaya khas Tionghoa dengan menonjolkan warna yang menjadi ciri khasnya yaitu merah. Di area tengah taman terdapat kolam yang cukup besar dengan air mancur yang menyembul. Di seberang taman ini juga dibangun Rusunawa (Rumah Susun Sederhana Sewa) bagi warga yang mungkin belum memiliki hunian.

In frame : Teman-teman saya
Gazebo Taman Lampion
Dari Taman Lampion yang letaknya tidak persis di pinggir jalan, saya beralih ke taman yang berada di pusat kota. Taman kota Klaten tepat berada di samping Alun-alun Kota Klaten, dan hanya dipisahkan jalan. Dari hasil saya baca-baca sedikit, baru saya tahu dulu sekali lokasi yang dijadikan taman ini adalah lokasi bioskop pertama dan satu-satunya di Klaten, yaitu Bioskop Rita. Seiring berjalannya waktu, bioskop kebanggaan ini lenyap dan mulai digantikan dengan barisan pertokoan yang mulai memenuhi kawasan ini. Entah sejak kapan, saya lupa tahun berapa barisan pertokoan yang berada di kawasan ini mulai direlokasi dan dijadikan ruang terbuka hijau yang diperuntukan bagi masyarakat.
Gambar di ambil dari sini
Taman kota ini tidak hanya berisi pepohonan hijau yang menyejukkan mata namun juga dilengkapi dengan beberapa tempat duduk dan area permainan anak. Selain itu jalan setapak yang dirancang juga dapat berfungsi sebagai jalan untuk refleksi, jadi selain sebagai tempat rekreasi taman ini juga dapat difungsikan sebagai tempat olahraga. Di sore hari banyak anak-anak kecil yang bermain di wahana permainan yang tersedia, dan ketika malam hari taman ini akan semakin penuh orang terutama di akhir pekan, terlebih lagi di sekitar Alun-alun Kota sering dijadikan pasar malam dadakan yang hampir tiap hari digelar. Akan semakin banyak wahana permainan dan aneka jajanan pinggir jalan yang ditawarkan, jadi tidak perlu khawatir kamu akan kelaparan saat nongkrong di sini. Oiya, di taman ini juga disediakan tempat sampah yang memadai di beberapa titik, jadi kamu nggak perlu khawatir untuk buang sampah bekas makanan secara sembarangan.
Latar : Pasar Malam dadakan Taman Kota
 
Gambar diambil dari sini
Sebagai ruang publik, taman yang luasnya tidak lebih besar dari Taman Lampion ini menurut saya dapat dijadikan salah satu pilihan bagi masyarakat yang ingin merasakan hijaunya Kota dan tempat rekreasi bagi keluarga tanpa harus mengeluarkan uang untuk menikmati beberapa wahana yang disediakan. Harapan saya semoga dengan dibangunnya ruang terbuka hijau di pusat-pusat kota akan memberikan pilihan lain bagi masyarakat untuk berekreasi selain di pusat perbelanjaan dan tempat makan, selain itu semoga taman-taman ini juga memberi keteduhan dan dapat mempercantik Kota di tengah ramainya lalu lintas jalan raya. Dan yang terpenting semoga masyarakat di sini juga ikut menjaga dan merawat fasilitas publik yang disediakan dengan sebaik-baiknya, misalnya dengan tidak membuang sampah sembarang di kawasan taman, tidak merusak tanaman dan fasilitas yang ada, dan tidak mengotori kawasan ini dengan mencoret-coret sesuka hati.

Jadi, masihkah kamu enggan main ke taman di kota kami?

Love,
Ajeng

Tuesday, September 01, 2015

Monumen Juang 45 Klaten



Saya sebenarnya cukup bingung akan menulis apa untuk postingan pertama di #30HariKotakuBercerita ini, karena saya sendiri nggak cukup paham tentang ikon kota kelahiran saya ini. Kebingungan saya ini akhirnya membuat saya melempar pertanyaan ke beberapa teman yang tinggal di kota yang sama, dan jawabannya cukup beragam. Ada yang menyebut ikon kuliner yang cabangnya sudah tersebar di banyak Kota, ada pula yang menyebut Candi Prambanan yang sebenarnya kota kami hanya kebagian tempat parkirnya hehe. Sampai saya menulis postingan ini pun saya masih belum yakin apakah bangunan/tempat ini adalah ikon Klaten, namun biarlah saya mencoba membagi yang saya tahu menurut sudut pandang saya sendiri.
Klaten adalah Kabupaten kecil yang sebenarnya kalau kita punya cukup waktu untuk berkeliling ke setiap sudut daerahnya maka kita akan berkata dalam hati “Oh ternyata Klaten nggak sekecil ini ya” begitu kira-kira respon saya ketika pernah suatu kali berkeliling ke beberapa daerah di Klaten yang baru pertama kali saya tahu.
Tentang ikon kota ini maka saya akan bercerita tentang Monumen Juang 45 Klaten yang letaknya tepat di kawasan GOR Gelarsena Klaten. Monumen juang ini dibuat dalam rangka untuk mengenang jasa para pahlawan kemerdekaan. Diresmikan oleh Soepardjo Roestam pada tanggal 20 Mei 1976. Di monumen ini terdapat beberapa patung pahlawan yang sedang mengangkat senjata dan juga ada monumen besar yang terpasang lambang Garuda Pancasila.




 

Akhir-akhir ini monumen juang ini sering sekali menjadi salah satu objek untuk berfoto, terutama oleh sebagian anak muda Klaten. Hal ini bagus tentu saja, setidaknya dengan begitu banyak anak muda yang mulai mencintai tempat kelahirannya dengan cara mengeksplor tempat-tempat yang ada di sekitarnya, dan tentu saja dengan catatan tidak merusak bangunan dan tetap menjaga kebersihan di sekitar tempat tersebut.
Saya tidak bisa terlalu bisa menjelaskan sejarah dibangunnya monumen ini dengan amat detil, mengingat di sana tidak ada penjelasan yang rinci mengenai monumen ini, dan belum ada pula yang bisa menjelaskannya pada saya.





Mungkin ini dulu yang dapat saya ceritakan tentang kabupaten tempat saya tinggal. Kabupaten kecil yang menghubungkan Solo dan Yogyakarta, Kabupaten yang mungkin terdengar asing di telinga kalian. Selanjutnya selama 30 hari ke depan saya akan mulai bercerita tentang Kabupaten ini sepengetahuan saya, baik dan buruknya.

Love,
Ajeng

Monday, August 24, 2015

Saya Tidak MA(MP)U



Kemarin saya mendapat sebuah nasihat dari teman saya, kira-kira seperti ini nasihatnya “Untuk apa memelihara luka jika sembuh itu menyenangkan?”. Seketika saya merasa tertohok akan nasihat teman saya itu, dan mulai memikirkan apa yang dia katakan.
Beberapa orang entah mengapa lebih suka memelihara luka yang mereka alami daripada mencoba mengobatinya dan mulai berpikir untuk sembuh. Bahkan, tak sedikit dari kita yang dalam kehidupannya justru berteman dengan luka, mengakrabinya seperti tak ada lagi hal lain yang bisa dijadikan sahabat karib.
Beberapa memilih menutup mata dan hati mereka dari kenyataan, terlebih kenyataan buruk atau yang tidak sesuai dengan ekspektasi yang telah dibangun. Beberapa orang lebih suka terjerembab dan terjerumus pada keadaan yang sebenarnya menyiksa dan menyakitinya, daripada mulai mencoba menghadapinya. Beberapa orang lebih suka memelihara luka mereka daripada memutuskan untuk sembuh dan menjadi sehat, menjadi lebih berdaya.
Dalam kehidupan ini tak semua hal yang terjadi akan sesuai dengan kehendak kita, dan berada di luar jangkauan kita sebagai manusia. Tak semua hal berjalan baik seperti yang sudah direncanakan dan impikan, yang pada akhirnya memberikan rasa kecewa, putus asa dan kenyataan pahit dalam hidup.
Ada yang memilih untuk diam, memilih untuk tak beranjak dari keadaan yang semakin buruk, memilih untuk tak menghadapi kenyataan.
Seringkali kita merasa tak mampu keluar dari kepedihan yang dialami, padahal sebenarnya kita bisa saja melaluinya bahkan mungkin keadaan akan jauh lebih baik setelah kita berani untuk menghadapi itu semua. Persoalannya adalah apakah kita mau untuk melakukannya? Apakah kita cukup berani untuk keluar dan menghadapi kenyataan yang tak jarang pahit itu?

Saya ambil contoh misalnya dalam sebuah hubungan percintaan. Kamu punya pasangan dan kalian sudah bertahun-tahun pacaran. Namun, dalam beberapa bulan terakhir ini hubungan kalian mulai renggang, mulai tak bergelora seperti dulu, yang lalu kamu ketahui bahwa penyebabnya adalah pacarmu berselingkuh dengan orang lain. Kamu tahu pacarmu berselingkuh dan hubungan kalian sudah tidak sehat. Kamu sudah mengingatkan pacarmu akan hal itu, dia berjanji untuk tak mengulanginya, dan kamu percaya. Namun beberapa waktu setelah itu dia melakukan kesalahan yang sama, mengulanginya lagi dan lagi entah berapa kali, dan kamu tetap bertahan untuk bersama.
Kamu tahu bahwa keputusanmu untuk bertahan adalah kesalahan, dan justru hanya akan menyakitkan hatimu, namun kamu tetap bergeming dan menjalani semuanya seperti tak ada masalah. Kamu tahu sebenarnya kamu harus berhenti, namun kamu tidak. Lalu kamu akan mulai berkata bahwa kamu tidak bisa mengakhiri hubungan percintaanmu pada orang-orang yang menasihatimu untuk berhenti dengan alasan kamu sudah terlalu nyaman, terlalu sayang untuk mengakhiri hubungan yang sudah bertahun-tahun lamanya itu. Kenyataan yang sebenarnya adalah kamu BISA untuk mengakhirinya, hanya saja kamu TAK MAU melakukannya.

TIDAK MAU dan TIDAK MAMPU adalah dua hal yang berbeda. Seringkali orang merasa tidak mampu, tidak bisa melakukan sesuatu yang lebih untuk dirinya, padahal sebenarnya dia hanya tak mau. Tidak mau adalah sebuah keengganan dari diri sendiri yang belum tentu sudah kita lakukan, sedangkan tidak mampu berarti kita sudah mencoba melakukannya. Bukankah itu adalah dua hal yang berbeda?
Beberapa alasan yang mungkin melatarbelakangi hal tersebut adalah keadaan terlalu nyaman yang selama ini dijalani, atau justru nyali kita yang terlalu kecil. Tak jarang kita merasa tidak mampu melakukan sesuatu yang lebih untuk diri kita sendiri karena alasan-alasan tersebut. Kita takut akan kegagalan, takut akan kesepian, takut akan rutinitas yang tidak akan lagi sama, takut akan masa esok yang tidak kita ketahui nasibnya, lalu memilih untuk diam dan tidak melakukan sesuatu.
Ini pula yang sebenarnya sedang saya pelajari, dan masih akan terus saya coba. Sejujurnya saya sendiri juga tergolong orang yang bernyali kecil itu, pun dalam golongan orang yang terlalu menikmati kenyamanan. Saya seringkali merasa takut akan dunia luar, merasa takut melakukan sesuatu yang belum pernah saya lakukan, takut untuk move-on dari patah hati dan memilih menikmati luka tersebut, serta beberapa ketakutan-ketakutan lain yang sebenarnya semua itu hanya terjadi di pikiran saya sendiri. Saya lebih sibuk memikirkan hal buruk yang belum tentu akan terjadi dan menghampiri hidup saya di esok hari (amit-amit) daripada mulai mencoba menaklukan rasa takut saya tersebut. Saya masih sering berkata dan menyakinkan diri sendiri bahwa saya tidak mampu untuk move on, tidak mampu untuk menulis lebih banyak, tidak mampu melakukan hal-hal yang belum pernah saya lakukan, padahal pada kenyataannya saya tidak mau, saya tidak ingin mencoba.

Dan postingan kali ini, seperti postingan lain saya adalah sebuah pengingat untuk diri saya sendiri bahwa saya harus belajar untuk percaya dan berusaha ma(mp)u melakukan sesuatu yang lebih untuk diri saya sendiri, mencoba untuk ma(mp)u keluar dari kecemasan dan ketakutan yang selama ini membayangi dan menghantui kemana pun saya pergi (oke ini berlebihan).
Untuk kalian yang sering dijadikan tempat curhat, yang sering mendengar keluhan orang terdekat kalian tentang berbagai masalah yang menimpa keluarga, sahabat atau teman kalian, mohon ingatkan apakah mereka sudah mencoba melakukan atau mengusahakan hal itu ketika mereka mulai berkata ‘saya tidak mampu’ (Ini termasuk buat teman-teman saya hehehehe), karena masalah, sepahit dan seburuk apapun itu toh tetap harus kita hadapi dan selesaikan bukan?

Love, Ajeng

Thursday, August 20, 2015

Kopi dan Beberapa Ingatan Tentangmu



Kopi, dengan berbagai wujudnya selalu berhasil menghadirkan kamu dalam ingatan. Aku sering menemukanmu dalam secangkir kopi yang kadang ku buat di pagi atau malam hari, atau beberapa kali ketika aku membaca buku yang menyebut dan bercerita mengenai kopi. Bahkan tak jarang dari beberapa sajak pendek mengenai kopi yang ditweet oleh penyair-penyair kesayanganku di twitter.
Terkadang aku tersenyum bahagia, namun tak jarang senyumku adalah senyum getir ketika tak sengaja mengingatmu dalam beberapa hal tersebut.
Kopi, entah mengapa selalu membuatku mudah untuk mengingatmu. Mengingat suaramu yang kadang terdengar renyah namun tak jarang sumbang, mengingat obrolan-obrolan seru kita, mengingat debat-debat tak penting yang pernah terjadi, dan terutama mengingat senyummu yang sebenarnya tidak seteduh suara Mas Is Payung Teduh tapi cukup menyenangkan.
Seperti sore ini, lagi-lagi dengan mudahnya aku menemukanmu dalam secangkir kopi dingin yang ku buat untuk menemani sepiring omelet hangat. Menu sederhana yang sering dibuat oleh sahabatku ketika tidak ada ide lagi untuk makan apa ketika di kos dulu. Ah, aku pun rindu dengannya juga.

Aku bukan seorang coffee addict sepertimu, namun sesekali aku meminumnya. Aku lebih sering minum kopi bungkus yang mudah ku jumpai di warung dekat tempat tinggalku, atau kopi yang disajikan di beberapa kafe yang ku kunjungi.  Aku tak terbiasa meminum kopi hitam pekat berampas, namun aku amat menikmati aromanya yang entah mengapa sangat menenangkan. Hey, masih bolehkah aku menyebut diriku sebagai peminum kopi?

Kopi dan kamu, dua hal yang hampir sama dalam hidupku. Aku bisa menikmatinya ketika hangat pun ketika dingin. Kopi mengajarkan bahwa sepahit-pahitnya rasa yang ditinggalkan, namun aku masih bisa menyesap sedikit rasa manis ketika meminumnya dan masih bisa menikmatinya dengan tertawa. Mungkin ini yang membuatku selalu merasa menemukanmu di tiap hal yang berkaitan dengan kopi.
Terima kasih untukmu dan juga kopi, yang telah memberi dua rasa itu dalam satu sesapan.
Pic source : The NY Post
Jadi, sudah berapa cangkir kopi yang kau minum hari ini? Dan bagaimana kabarmu?


- Klaten, Agustus 2015 -