Sunday, September 13, 2015

Bukan 'Sekedar' Pekerjaan

Cerita kelima di 30 Hari Kotaku Bercerita

Ternyata sudah separuh perjalanan mengikuti proyek menulis ini, meskipun kadang masih susah dan bingung mau nulis apa tapi sejauh ini saya masih menikmatinya.
Oke mari kita langsung ke pokoknya, tema hari ini adalah 'pekerjaan kami sehari-hari' jadi saya akan sedikit bercerita mengenai beberapa pekerjaan yang dikerjakan masyarakat tempat saya tumbuh besar ini. Secara umum masyarakat Klaten masih banyak yang berprofesi sebagai petani dan pedagang, namun di beberapa daerah terutama di desa wisata, masyarakat sekitar berprofesi sesuai dengan potensi wisata yang sedang berkembang di daerah tersebut, misalnya sebagai perajin tenun lurik, dan perajin gerabah.

Luas lahan pertanian Kabupaten Klaten mencapai hampir lebih dari 65% dari total wilayahnya, dengan didukung kecukupan irigasi yang baik dan lahan yang subur menjadikan Klaten menjadi salah satu produsen beras yang cukup diperhitungkan di Indonesia. Salah satu jenis beras yang sudah terkenal di seantero Nusantara adalah beras rojolele yang berasal dari suatu daerah di Klaten yang bernama Delanggu. Tak jarang karena luasnya lahan pertanian ini banyak sekali masyarakat yang berprofesi sebagai petani, baik itu yang mengerjakan sawah milik sendiri atau sawah milik orang lain.
Bertani, saya kira masih merupakan satu profesi yang menurut masyarakat masih sangat menjanjikan dan dapat dijadikan tumpuan ekonomi.

Saya sendiri sejujurnya belum pernah melihat dengan pasti lahan-lahan persawahan di daerah Delanggu yang berasnya sudah terkenal dan banyak dikonsumsi masyarakat luas itu, namun saya tidak sangsi bahwa Klaten memang sangat kaya dengan sawah. Pernah suatu kali saya berkeliling ke beberapa daerah di Klaten hingga ke beberapa desa yang belum pernah saya jamah dan melihat hamparan sawah yang membentang luas, dan sejauh mata memandang hanya warna hijau padi dan biru langit yang saya lihat. Tidak hanya di satu atau dua desa, namun banyak sekali desa yang masih mengandalkan pertanian sebagai roda perekonomian mereka, termasuk di desa saya sendiri.
Gambar diambil dari sini
Kalau ada yang belum tahu apa itu lurik, lurik adalah kain tenun yang pola gambarnya berupa garis-garis memanjang vertikal yang pengerjaannya menggunakan ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin). Beberapa daerah seperti Cawas, Pedan, Bayat adalah wilayah yang menjadi sentra kerajinan lurik, maka tak heran jika mayoritas penduduk sekitar berprofesi sebagai perajin tenun lurik. Yang saya baca pada tahun 2012 data dari BPS total ada sekitar 1200 perajin tenun lurik yang tersebar di beberapa daerah sentra lurik di berbagai wilayah di Klaten. Untuk mendukung potensi daerah itu, Pemerintah Kabupaten Klaten juga telah menggalakan program lurikisasi yaitu dengan menjadikan kain tenun lurik sebagai salah satu seragam wajib yang harus dikenakan pegawai pemerintahan, bukan hanya untuk mengangkat nama lurik, namun juga untuk mengangkat potensi ekonomi masyarakat.
Perajin tenun lurik. (Gambar diambil dari sini)
Monumen perajin tenun lurik dengan ATBM. (Gambar diambil dari sini)
Selain perajin tenun lurik, ada pula perajin gerabah di desa wisata Melikan. Hampir sebagian besar masyarakatnya menggeluti profesi ini, dan di desa wisata yang lokasinya berdekatan dengan kawasan wisata ziarah Paseban Bayat itu mudah ditemui sentra-sentra kerajinan di pinggir jalan yang menjual berbagai gerabah hasil buatan tangan penduduk lokal. Teknik yang digunakan para perajin dalam membuat gerabah dan keramik di Desa Melikan adalah dengan teknik putaran miring. Teknik putaran miring ini menggunakan alat putar dari kayu dan bambu dengan posisi miring kurang lebih 35 derajat. Menurut kabar kerajinan gerabah Desa Melikan ini juga sudah dilirik pasar mancanegara seperti beberapa negara di Eropa lho, jadi saya kira industri gerabah Melikan ini juga tak kalah dengan industri gerabah Kasongan di Yogyakarta dan cukup untuk memberikan penghidupan yang layak bagi penduduk lokal.
Gambar diambil dari sini
Itu adalah beberapa pekerjaan yang sampai sekarang masih banyak digeluti masyarakat Klaten. Memang sudah banyak pembangunan yang terjadi di Klaten mulai dari infrastruktur, pembangunan mental dan pendidikan yang menjadikan masyarakat menekuni profesi-profesi lain yang seringkali dianggap sebagai profesi yang wah seperti karyawan perusahaan, pegawai negeri, pengusaha, dokter, dan sebagainya namun jangan pula menganggap sebelah mata profesi-profesi lain, karena di luar itu tidak sedikit pula masyarakat Klaten yang masih mempertahankan kearifan-kearifan lokal daerahnya dan menjadikan potensi-potensi yang sudah ditinggalkan nenek moyangnya sebagai ujung tombak mata pencaharian mereka dan meningkatkan perekonomian mereka.

Pada akhirnya ukuran kecukupan pendapatan yang diperoleh juga kembali lagi ke pribadi orang yang melakukan pekerjaan itu dan kebutuhannya, karena sejatinya sebuah pekerjaan, apapun itu selama masih dilakukan dengan hati, halal, tidak merugikan orang lain dan dapat memberikan penghidupan serta kebahagian bagi yang melakukannya adalah sebaik-baiknya pekerjaan.

Love,
Ajeng

Monday, September 07, 2015

Pasar Senggol

Cerita ketiga di 30 Hari Kotaku Bercerita..

Ketika saya sadar tema hari ketiga dalam proyek ini adalah pasar, saya bingung, asli bingung karena nggak ngerti mau nulis apa tentang pasar. Jujur saya sama sekali nggak tahu menahu tentang dunia pasar, tapi ya okelah anggap aja ini tantangan buat saya.
Kali ini saya akan cerita tentang salah satu pasar tradisional yang letaknya nggak jauh dari rumah saya. Namanya adalah Pasar Senggol. Lokasinya (menurut yang saya baca) adalah di Desa Drono, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Indonesia. Tapi kalau menurut saya sih pasar ini berada di perbatasan antara Desa Drono dan Desa Candirejo, karena lokasinya diantara kedua desa tersebut.

Mengapa disebut Pasar Senggol, saya sendiri juga nggak tahu alasannya karena kebetulan belum pernah mendengar sejarahnya. Pasar Senggol tak jauh berbeda dengan pasar tradisional kebanyakan, di sana banyak kios kios pedagang yang menjual beraneka ragam barang, dari bahan makanan mentah, makanan jadi, sampai peralatan rumah tangga. Luas Pasar Senggol sekitar 600 meter yang terdiri atas 24 kios dan enam los serta digunakan oleh 75 pedagang.
Gambar diambil dari sini
Saat masih kecil, kira-kira waktu masih TK saya masih sering main ke pasar ini. Terkadang ikut Ibu yang berbelanja, dan tak jarang ikut saudara saya yang kebetulan adalah salah satu pedagang di pasar. Bentuk kios dan los di pasar senggol terdiri dari emperang-emperan kecil dan tidak bersekat papan ataupun tembok. Hanya ada beberapa kios saja yang berbentuk seperti gubuk yang dibatasi tiang kayu dan bersekat, selebihnya hanya emperan semen. Biasanya pembagian blok pedagang di sana berdasarkan jenis barang yang dijual. Misalnya pedagang daging biasanya nggak deket-deket sama pedagang sayur dan buah, mungkin untuk mengurangi risiko terjadinya kontaminasi silang kali ya.

Setelah cukup dewasa, saya sudah sangat jarang ke pasar senggol dan melihat keadaan dalamnya meskipun beberapa kali sering lewat di jalan depan pasar. Kabar yang saya baca, katanya pasar ini akan segera direnovasi keadaannya oleh pemerintah daerah karena sudah banyak sekali bagian pasar yang rusak seperti atap bolong dan genting yang sudah banyak pecah. Semoga saja kabar ini benar dan segera direalisasikan karena pasar ini adalah salah satu pusat perekonomian bagi beberapa masyarakat sekitar.

Love,
Ajeng

Friday, September 04, 2015

Taman : Hijau di Teriknya Kota



Cerita kedua di 30 Hari Kotaku Bercerita

Kalau mendengar kata ruang publik maka yang akan terpikir di kepala saya adalah taman tempat masyarakat biasanya berkumpul. Dulu, kira-kira beberapa tahun yang lalu kalau saya tidak salah ingat, di Klaten sendiri belum ada taman kota atau sudah ada namun saya tidak cukup gaul untuk tahu ada taman kota. Setahu saya memang ada hutan kota, tapi yang saya tahu dulu semasa saya masih SMP hutan kota yang letaknya persis di depan sekolah saya ini tidak dirawat dengan baik, rimbun, dan justru terkesan angker karena lokasinya yang kebetulan dekat dengan kawasan pemakaman padahal menurut saya kalau dirawat dengan baik tempat ini lucu buat lokasi piknik karena pohon-pohonnya yang tinggi dan rindang dan bisa juga buat foto pra nikah (kalau mau).

Beberapa tahun belakangan ini, Pemerintah Klaten sedang gencar-gencarnya membangun ruang terbuka hijau yang bisa dinikmati oleh masyarakat, yaitu taman serta membenahi hutan kota yang awalnya dibiarkan terbengkalai. Ada beberapa taman yang dibangun antara lain taman lampion (yang sampai sekarang saya masih belum tahu mengapa disebut taman lampion padahal sama sekali nggak ada lampionnya), taman kecil di belakang Stadion (yang sayangnya saya tidak tahu apa namanya), dan tentu saja taman kota yang berada di jantungnya kota Klaten.

Taman lampion ini terletak di belakang gedung PMI Kabupaten Klaten, tepatnya di Kelurahan Bareng Lor, Klaten Utara. Taman ini tergolong taman baru di Kabupaten Klaten. Pertama kali saya dengar nama taman lampion, yang terpikir adalah taman pelangi di Monumen Yogya Kembali, yang dipenuhi dengan lampion lucu yang terpasang di beberapa bagian, namun ternyata saat ke sana taman ini tak jauh berbeda dengan taman pada umumnya, hanya saja konsep taman ini lebih condong ke gaya Tionghoa. Beberapa bangunan gazebo didesain dengan gaya khas Tionghoa dengan menonjolkan warna yang menjadi ciri khasnya yaitu merah. Di area tengah taman terdapat kolam yang cukup besar dengan air mancur yang menyembul. Di seberang taman ini juga dibangun Rusunawa (Rumah Susun Sederhana Sewa) bagi warga yang mungkin belum memiliki hunian.

In frame : Teman-teman saya
Gazebo Taman Lampion
Dari Taman Lampion yang letaknya tidak persis di pinggir jalan, saya beralih ke taman yang berada di pusat kota. Taman kota Klaten tepat berada di samping Alun-alun Kota Klaten, dan hanya dipisahkan jalan. Dari hasil saya baca-baca sedikit, baru saya tahu dulu sekali lokasi yang dijadikan taman ini adalah lokasi bioskop pertama dan satu-satunya di Klaten, yaitu Bioskop Rita. Seiring berjalannya waktu, bioskop kebanggaan ini lenyap dan mulai digantikan dengan barisan pertokoan yang mulai memenuhi kawasan ini. Entah sejak kapan, saya lupa tahun berapa barisan pertokoan yang berada di kawasan ini mulai direlokasi dan dijadikan ruang terbuka hijau yang diperuntukan bagi masyarakat.
Gambar di ambil dari sini
Taman kota ini tidak hanya berisi pepohonan hijau yang menyejukkan mata namun juga dilengkapi dengan beberapa tempat duduk dan area permainan anak. Selain itu jalan setapak yang dirancang juga dapat berfungsi sebagai jalan untuk refleksi, jadi selain sebagai tempat rekreasi taman ini juga dapat difungsikan sebagai tempat olahraga. Di sore hari banyak anak-anak kecil yang bermain di wahana permainan yang tersedia, dan ketika malam hari taman ini akan semakin penuh orang terutama di akhir pekan, terlebih lagi di sekitar Alun-alun Kota sering dijadikan pasar malam dadakan yang hampir tiap hari digelar. Akan semakin banyak wahana permainan dan aneka jajanan pinggir jalan yang ditawarkan, jadi tidak perlu khawatir kamu akan kelaparan saat nongkrong di sini. Oiya, di taman ini juga disediakan tempat sampah yang memadai di beberapa titik, jadi kamu nggak perlu khawatir untuk buang sampah bekas makanan secara sembarangan.
Latar : Pasar Malam dadakan Taman Kota
 
Gambar diambil dari sini
Sebagai ruang publik, taman yang luasnya tidak lebih besar dari Taman Lampion ini menurut saya dapat dijadikan salah satu pilihan bagi masyarakat yang ingin merasakan hijaunya Kota dan tempat rekreasi bagi keluarga tanpa harus mengeluarkan uang untuk menikmati beberapa wahana yang disediakan. Harapan saya semoga dengan dibangunnya ruang terbuka hijau di pusat-pusat kota akan memberikan pilihan lain bagi masyarakat untuk berekreasi selain di pusat perbelanjaan dan tempat makan, selain itu semoga taman-taman ini juga memberi keteduhan dan dapat mempercantik Kota di tengah ramainya lalu lintas jalan raya. Dan yang terpenting semoga masyarakat di sini juga ikut menjaga dan merawat fasilitas publik yang disediakan dengan sebaik-baiknya, misalnya dengan tidak membuang sampah sembarang di kawasan taman, tidak merusak tanaman dan fasilitas yang ada, dan tidak mengotori kawasan ini dengan mencoret-coret sesuka hati.

Jadi, masihkah kamu enggan main ke taman di kota kami?

Love,
Ajeng

Tuesday, September 01, 2015

Monumen Juang 45 Klaten



Saya sebenarnya cukup bingung akan menulis apa untuk postingan pertama di #30HariKotakuBercerita ini, karena saya sendiri nggak cukup paham tentang ikon kota kelahiran saya ini. Kebingungan saya ini akhirnya membuat saya melempar pertanyaan ke beberapa teman yang tinggal di kota yang sama, dan jawabannya cukup beragam. Ada yang menyebut ikon kuliner yang cabangnya sudah tersebar di banyak Kota, ada pula yang menyebut Candi Prambanan yang sebenarnya kota kami hanya kebagian tempat parkirnya hehe. Sampai saya menulis postingan ini pun saya masih belum yakin apakah bangunan/tempat ini adalah ikon Klaten, namun biarlah saya mencoba membagi yang saya tahu menurut sudut pandang saya sendiri.
Klaten adalah Kabupaten kecil yang sebenarnya kalau kita punya cukup waktu untuk berkeliling ke setiap sudut daerahnya maka kita akan berkata dalam hati “Oh ternyata Klaten nggak sekecil ini ya” begitu kira-kira respon saya ketika pernah suatu kali berkeliling ke beberapa daerah di Klaten yang baru pertama kali saya tahu.
Tentang ikon kota ini maka saya akan bercerita tentang Monumen Juang 45 Klaten yang letaknya tepat di kawasan GOR Gelarsena Klaten. Monumen juang ini dibuat dalam rangka untuk mengenang jasa para pahlawan kemerdekaan. Diresmikan oleh Soepardjo Roestam pada tanggal 20 Mei 1976. Di monumen ini terdapat beberapa patung pahlawan yang sedang mengangkat senjata dan juga ada monumen besar yang terpasang lambang Garuda Pancasila.




 

Akhir-akhir ini monumen juang ini sering sekali menjadi salah satu objek untuk berfoto, terutama oleh sebagian anak muda Klaten. Hal ini bagus tentu saja, setidaknya dengan begitu banyak anak muda yang mulai mencintai tempat kelahirannya dengan cara mengeksplor tempat-tempat yang ada di sekitarnya, dan tentu saja dengan catatan tidak merusak bangunan dan tetap menjaga kebersihan di sekitar tempat tersebut.
Saya tidak bisa terlalu bisa menjelaskan sejarah dibangunnya monumen ini dengan amat detil, mengingat di sana tidak ada penjelasan yang rinci mengenai monumen ini, dan belum ada pula yang bisa menjelaskannya pada saya.





Mungkin ini dulu yang dapat saya ceritakan tentang kabupaten tempat saya tinggal. Kabupaten kecil yang menghubungkan Solo dan Yogyakarta, Kabupaten yang mungkin terdengar asing di telinga kalian. Selanjutnya selama 30 hari ke depan saya akan mulai bercerita tentang Kabupaten ini sepengetahuan saya, baik dan buruknya.

Love,
Ajeng