Saturday, December 26, 2015

Gagal?

Minggu ini adalah minggu penutup akhir tahun yang cukup berat dan emosional buat saya. Seharusnya minggu ini adalah minggu yang penuh suka cita karena suasana libur panjang, tapi hal itu tak berlaku buat saya. Nyatanya saya mendapat kado akhir tahun yang cukup berbeda.

Hal ini dimulai ketika kamis sore lalu, tepatnya setelah pulang dari rumah kakak sulung saya, banyak sekali pesan masuk di salah satu grup whatsapp yang saya ikuti. Usut punya usut pesan-pesan itu berasal dari grup rekrutmen salah satu BUMN yang sedang saya ikuti. Grup itu dibuat untuk ajang silaturahmi dan berbagi informasi para peserta rekrutmen mengenai jadwal dan proses seleksi. Salah satu peserta seleksi mengabarkan bahwa hasil wawancara terakhir seleksi BUMN tersebut sudah keluar di web. Tentu saja kabar itu membuat saya deg-degan bukan main karena sudah saya tungu sejak beberapa hari lalu.

Saya makin penasaran ingin mengetahui hasil seleksi setelah membaca beberapa teman dinyatakan lolos seleksi, dan sesegera mungkin menyambungkan koneksi internet. Saya buka web yang dimaksud, namun saya sedikit ragu dan tidak siap membaca hasilnya. Saya picingkan mata saya sambil terus merapal doa, berharap hasilnya akan menggembirakan hati saya ( hal yang sama saya lakukan juga ketika melihat pengumuman hasil wawancara sebelumnya). Setelah berhasil login, keraguan dan ketakutan itu sempurna membuat saya terdiam cukup lama. Saya dinyatakan tidak lolos mengikuti tahapan terakhir dalam proses seleksi yaitu medical check up.
Butuh waktu sepersekian menit bagi saya untuk cukup awas hingga akhirnya saya mengabarkan hasil itu pada orang tua. Bapak yang mendengar kabar itu lalu meminta untuk ditunjukkan pengumuman yang dimaksud. Beliau lalu mulai bertanya mengenai proses seleksi kemarin, apakah saya dapat menjawab dengan baik atau tidak. Pertanyaan yang biasa saja sebenarnya namun dalam kondisi yang masih kaget dan sedih buat saya pertanyaan seperti itu cukup membuat saya tertekan dan merasa dihakimi. Saya merasa telah mengecewakan harapan orang tua saya, dan tentunya harapan diri sendiri, lalu saya mulai menangis.

Beberapa saat kemudian seorang teman semasa kuliah yang juga mengikuti tes di kota yang sama dan kebetulan juga diwawancarai oleh orang yang sama memberikan kabar bahwa dia juga berhenti di tahap ini. Saya juga dia, menangis di tempat kami masing-masing juga saling menguatkan satu sama lain. Ini momen yang cukup menguras emosi bagi kami berdua. Gagal di lintasan menuju finish itu menyakitkan.

Buat saya pribadi, seleksi ini adalah yang paling menguras energi dan mental dibanding seleksi lain yang pernah saya ikuti. Pada awalnya saya memang tidak terlalu antusias seperti teman lain. Hanya sekadar mendaftar dan tidak berpikir terlalu jauh. Namun setelah melalui tahapan demi tahapan yang panjang dan sempat membuat sakit karena saya selalu kehujanan ketika tes, maka ketika sampai pada tahap wawancara akhir, harapan yang tadinya hanya seujung kuku pun melesat naik, tumbuh dan terus tumbuh memenuhi hati saya. Harapan untuk segera bekerja sesuai apa yang saya ingini, harapan untuk bekerja di bidang pelayanan, dan tentu saja harapan untuk segera membahagiakan orang tua dan mengurangi beban mereka.

Kecewa? Tentu saja. Sedih? Apalagi. Saya bahkan berkali-kali menangis dan meyakinkan diri sendiri untuk tidak denial pada kenyataan. Mungkin reaksi saya ini berlebihan, tapi nyatanya saya memang cukup terpukul. Lebih sedih lagi ketika melihat wajah Ibu dan Bapak. Walaupun tidak tampak raut kecewa yang berlebihan dan selalu mengatakan 'gapapa bukan rezeki kamu' tapi saya tahu dalam hati mereka juga berharap. Ini lebih menyakitkan dan membebani daripada rasa kecewa diri sendiri. Sekarang saya sudah bisa menerima, ya memang belum sepenuhnya tapi setidaknya saya sudah cukup ringan menjawab ketika ada yang bertanya mengenai seleksi kemarin dan bisa menuliskannya.

Mungkin pada kesempatan kali ini jalan saya memang hanya sampai di sini, dan ini bukan rezeki saya, tapi saya tidak menyebut ini sebagai kegagalan. Ini adalah proses, dan di akhir pasti selalu saja ada yang berhasil dan tidak. Mungkin bukan sekarang, dan mungkin bukan di tempat itu rezeki saya berada. Yang masih saya ingat dan yakini adalah ketika satu pintu tertutup, maka Tuhan akan bukakan seribu pintu lain. Pintu-pintu yang dinilai lebih tepat dan cocok untuk saya.
Rezeki dan jodoh sudah ada jatahnya masing-masing dan tidak akan salah alamat. Mungkin saja saat ini rezeki dan jodoh saya sedang mencari alamat rumah saya, ya walaupun saya tidak tahu kapan akan bertemu, tapi selama saya mau berusaha dan tidak melupakan doa, mereka akan segera menemukan alamat saya. Semoga

No comments:

Post a Comment